Minggu, 14 November 2021

Stephen Suleeman

8 November 2011. Stephen Suleeman, temanku yang baik hati, pergi untuk selamanya. Tak pernah kembali, tak pernah berkabar lagi, tak pernah bisa kusapa dan menyapaku lagi. Ia meninggal pada usia 67 tahun setelah kesehatannya menurun setahun terakhir hidupnya. Ginjalnya tak berfungsi dengan baik.

Steve adalah kakak kelasku di FISIP UI. Ia angkatan 1979 sementara aku angkatan 1980.  Meski berbeda angkatan namun ada beberapa mata kuliah yang kami ikuti bersama, karena perkuliahan bersistem kredit memungkinkan untuk itu. Para dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI sering memberikan tugas menulis makalah kepada kami. Para mahasiswa di dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa group oleh dosen. Setiap group menulis satu makalah dengan topik yang berkaitan dengan mata kuliah yag diajarkan oleh dosen. Saya beberapa kali dalam satu group dengan Steve. Leadership-nya, usianya, pengetahuannya yang luas, dan angkatannya yang lebih senior, membuat Steve selalu menjadi ketua kelompok. Ia bisa memberi masukan-masukan yang berbobot bagi makalah yang akan kami tulis. Setiap diskusi ia selalu mau mendengarkan pendapat orang lain. Di dalam diskusi-diskusi itu Steve halus dalam memilih kata, namun tetap tegas. Ia juga humoris. Tapi ia sangat serius menulis skripsinya. Saya mendengarkan bagaimana ia menjawab semua pertanyaan dari dosen penguji skripsi dengan cerdas. Ia mendapatkan nilai terbaik dari semua skripsi yang pernah diuji di fakultas itu.

Setelah kami lulus dari FISIP UI, bertahun-tahun aku tak pernah mendengar kabarnya. Belakangan kutahu bahwa Steve menjadi pendeta sejak muda dan aktif di kegiatan lintas agama antarnegara. Kami bertemu kembali di dunia maya, di media sosial Facebook. Jempol dan komennya sering hadir di postingan-postinganku. Sebaliknya aku juga memberikan jempol dan komen di postingan-postingannya. Komen-komennya sering lucu, kami saling becanda dan akrab di dunia maya, meski tak pernah bertemu di dunia nyata.  Facebook membuat ia lebih akrab denganku daripada dengan suamiku padahal ia adalah teman seangkatan suamiku di FISIP UI. Teguh Poeradisastra memang tidak aktif membaca Facebook.


Pada suatu hari pada 2018 Stephen memberitahuku bahwa ia menjadi salah satu kontributor dalam buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. “Ada tulisan saya di buku itu. Apakah kamu tertarik untuk membacanya?” tulisnya melalui Messenger. Tentu aku mau membeli dan membaca buku itu. Bukan saja karena Steve yang menjadi salah satu penulisnya, melainkan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa menarik perhatianku. Apalagi ayah mertuaku gigih memperjuangkan agar etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu etnis dari ratusan etnis yang ada di negara kita. Prof. Saleh Iskandar Poeradisastra, ayah mertuaku, memiliki banyak sahabat yang berasal dari etnis Tionghoa. Meski berbeda warna kulit, suku, dan agama, persahabatan mereka sangat dipenuhi kasih sayang sebagai sesama manusia. Kakak iparku, Slamet Poeradisastra, menikah dengan perempuan Tionghoa tidak menjadi masalah di dalam keluarga kami. Meski ayah mertuaku sudah meninggal, para sahabat beliau tetap penuh perhatian dan menjalin hubungan dengan kami.

Menyedihkan menjadi Tionghoa di Indonesia. Ketika buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia yang dikirim oleh Steve sampai di tanganku, aku langsung membacanya. Yang pertama kubaca adalah Kata Pengantar yang ditulis oleh Anita Wahid, putri Presiden Abdurahman Wahid. Tulisan Anita Wahid menganjurkan agar manusia jangan menghakimi orang lain berdasarkan suku, agama, pendidikan, dan negara. Sebab semua suku, semua agama, semua tingkat pendidikan, dan semua negara masing-masing memiliki orang baik dan orang jahat. Aku sependapat dengan Anita Wahid. Tulisannya kemudian aku tik dan kuposting di Facebook. Ternyata tulisan itu viral, banyak di-share di Facebook dan di What’s App Groups. Itu membuktikan bahwa masih banyak orang yang ingin rasisme dikikis habis.

Aku kemudian membaca halaman 14 buku itu yang memuat tulisan Stephen Suleeman. Judulnya Apa Arti Sebuah Nama? Tulisan yang menyentuh. Meski sastrawan William Shakespeare  dalam drama Romeo and Juliet menyebutkan "A rose by any other name would smell as sweet", tidak sederhana dan semanis itu soal nama bagi Tionghoa di Indonesia. Nama asli Stephen adalah Lee Heng Ek, namun politik Orde Lama membuatnya harus berganti nama menjadi Stephen. “Asingnya nama saya sering menimbulkan kesulitan ketika saya menelepon seseorang dan harus menjelaskan nama saya. Saya perlu berulang-ulang menyebutkan nama saya, meski pihak di seberang sana tetap tidak bisa menangkapnya dengan jelas. Hal ini mendorong saya untuk mencarikan nama-nama yang mudah disebutkan oleh lidah Indonesia ketika anak-anak saya lahir,” tulis Stephen dalam buku itu. Kedua anaknya dari perkawinannya dengan Dini Kusnadi diberinya nama Hortensia Margarita Esperanza dan Lavender Serena Constanza. Steve dan Dini menikah pada Senin, 8 Agustus 1988, dua hari setelah pernikahanku dengan Teguh Poeradisastra.



Pada akhir 2020 aku meminta Steve untuk menulis tentang pengalaman pribadinya dalam toleransi beragama. Keesokan harinya ia sudah mengirimkan tulisannya sekitar 12 halaman dengan isi yang berbobot, tata bahasa yang baik, dan enak dibaca. Buku antologi berjudul Berbeda Jalan, Satu Tujuan terbit pada Februari 2021. Ia sangat mendukungku untuk penerbitan buku itu. Kini ia telah tiada. Seorang sahabat telah pergi. Damailah di surga, Steve. Semoga kita bisa berjumpa lagi di sana. Amin.

Kamis, 28 Oktober 2021

Berbeda Jalan, Satu Tujuan Jilid 2


 Buku ini menceritakan pengalaman pribadi lima belas penulis dalam bertoleransi dengan sesama manusia. Ada penulis yang berasal dari keluarga penganut Konghucu yang taat kemudian menjadi penganut Katolik, namun tetap menjalankan tradisi cengbeng. Penulis lainnya berasal dari keluarga penganut  Saksi Yehuwa yang fanatik dan menjadi bingung karena ajaran Saksi Yehuwa dibubarkan pemerintah. Ia belajar agama Islam, namun seorang ustad tidak menganjurkannya untuk menjadi muslim. Ia diminta untuk memilih sendiri agama yang paling cocok untuk dirinya. Ia mendapatkan pengalaman spiritual ketika memilih agamanya.

Ada penulis beragama Hindu yang tertarik belajar Islam kemudian pindah agama.  Ada penulis yang seorang istri pendeta dan bersahabat dengan seorang penganut Hindu. Ada pula penulis yang menjadi pengajar di sanggar melukis. Ia berpendapat bahwa kebebasan berkreasi dalam pelajaran melukis dapat menumbuhkan sikap toleransi.

Beberapa penulis beragama Islam tetap menjadi penganut Islam meski sejak kecil sampai remaja belajar di sekolah Katolik. Mempelajari agama yang berbeda membuat mereka melihat perbedaan dan persamaan dari setiap agama. Mereka menghargai perbedaan dan tetap merasa nyaman dalam kebersamaan. Gembiramu adalah gembiraku, kesedihanmu adalah kesedihanku. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Manusia hanya berbeda jalan dalam mendekat kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

 

Jumat, 13 Agustus 2021

Presiden Soekarno Menghukum Mati Sahabatnya


Dengan menangis Presiden Soekarno membubuhkan tanda tangan untuk menghukum mati Kartosuwirjo, tokoh yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Darul Islam adalah golongan ekstrim kanan berhalauan agama yang picik, fanatik, keras, dan melawan pemerintah Indonesia.  

“Pada 1918 Kartosuwirjo adalah kawanku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan tanah air. Pada tahun 1920-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, ia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam. Memang selalu ada pertentangan antara kekuatan yang mendorong kemajuan dan kekuatan yang menahannya,” ujar Soekarno.

Pada 1950 Kartosuwirjo mengatakan, “Soekarno penghalang pembentukan Negara Islam. Soekarno menyatakan, Indonesia harus berdasarkan Pancasila. Soekarno harus dibunuh.” Pada 1963 Kartosuwirjo berakhir hidupnya di hadapan regu penembak. ”Ini bukan tindakan untuk memberikan kepuasan hati. Ini adalah tindakan untuk menegakkan keadilan. Menanda-tangani hukuman mati tidak memberikan kesenangan kepadaku. Namun seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang harus ditempuh,” ucap Soekarno kepada Cindy Adams, penulis biografinya.

Kamis, 12 Agustus 2021

Janji Jepang untuk Kemerdekaan Indonesia


J
epang yang harus menghadapi Sekutu membutuhkan kerja sama yang erat dengan rakyat Indonesia. Mereka ingin mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia yang bersikap memusuhi mereka. Caranya dengan mempercepat pemberian konsesi pada usaha kemerdekaan Indonesia. Pada 7 September 1944 di Tokyo diumumkan janji bahwa Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Hari baik, tanggal baik, akan ditentukan kemudian. Untuk itu disiapkan badan baru bernama Jawa Hokokai. Badan itu dipimpin Soekarno dan akan bekerja sebagai aparat pemerintahan yang pertama.

Pada Februari 1945 tentara Amerika dipimpin Jenderal Douglas MacArthur mengalahkan tentara Jepang di Filipina. Setiap jengkal kekalahan Jepang menambah semangat bangsa kita menuju kemerdekaan. Pada Maret 1945 Soekarno dan Hatta terbang ke Makassar untuk pembicaraan tingkat tinggi mengenai bagaimana kelak bentuk negara Indonesia. Jepang mengusulkan bentuk monarki. “Seperti kunjungan Tuan baru-baru ini ternyata rakyat Bali menghendaki Kerajaan. Rakyat mendesak agar Soekarno menjadi Raja dari Indonesia,” kata para pembesar Jepang kepada Soekarno.

“Saya sudah berjanji kepada para pengikut saya sejak 1926. Sejak awal saya sudah berjanji bahwa kami tidak akan mendirikan negara yang berbentuk kerajaan. Saya selalu menentang segala macam bentuk selain negara Republik,” jawab Soekarno tegas.

Hatta yang mendampingi Soekarno dengan baik selama Masa Pendudukan pada saat itu merasa bahwa perjuangan mereka sudah mendekati kemenangan. Karena itu Hatta kembali kepada gagasan awalnya yaitu bentuk Negara Serikat. Soekarno menghendaki Negara Kesatuan, Hatta menginginkan beberapa negara. Soekarno menyadari, inilah akhir dari kerja sama dwi-tunggal. Mereka tidak lagi menjadi dua tokoh dalam satu barisan.

Selama lima hari Soekarno dan Hatta di Makassar, kota itu dibom 22 kali. Sirene meraung-raung setiap lima belas menit. Para tentara Sekutu rupanya tahu bahwa Soekarno berada di sana. Mereka menganggap Soekarno sebagai penjahat perang. “Selama lima hari penuh aku disembunyikan di lubang perlindungan di bawah tanah yang menjadi sarang nyamuk dan serangga lainnya. Gigitan nyamuk membuatku terkena malaria. Penyakit itu timbul sekali dua hari dan rutin menyerangku. Aku merasakan badanku sehat selama setengah tahun, kemudian penyakit itu timbul lagi. Aku sehat lagi selama tiga bulan, lalu terbaring kembali di tempat tidur. Delapan tahun aku menderita malaria silih berganti,” cerita Soekarno kepada Cindy Adams, penulis biografinya.

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta ada dua pesawat tempur kecil yang melindungi Soekarno dan Hatta. Tetapi pesawat terbang Sekutu terus membuntuti setiap menit. Enam pesawat Amerika melayang-layang di atas pesawat mereka selama penerbangan pulang. Ketika pesawat yang ditumpangi Soekarno dan Hatta berada di atas pulau Jawa, keenam pesawat itu memotong jalan mereka. “Pesawat kami terbang sangat rendah sampai hampir menyentuh pucuk pohon kelapa,” kata Soekarno.

Pada 1 April 1945 tentara Amerika mendarat di Okinawa, Jepang. Pada 29 April Kaisar Jepang menyetujui pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Jelaslah sekarang tidak ada lagi yang dapat menghentikan gerakan kami,” kata Soekarno.

Pada 28 Mei 1945 BPUPKI mengadakan sidang untuk membahas tata pemerintahan, ekonomi, politik, dan hal-hal penting lainnya yang diperlukan untuk pembentukan negara Indonesia merdeka.

Jumat, 16 Juli 2021

Proyek MHT

Terminal bus Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, Grogol di Jakarta dibangun pada zaman Gubernur Ali Sadikin (1966 – 1977). Selain terminal, shelter, dan real estate, Gubernur Ali Sadikin membuat Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Mahasiswa, Gelanggang Remaja, Jakarta Fair, LBH, dan lain-lain. Masjid di Tanah Abang yang dibangunnya pernah mendapat penghargaan Aga Khan. Tetapi yang paling dibanggakannya adalah proyek MHT (Mohammad Husni Thamrin), proyek yang membangun kampung-kampung di Jakarta, yang kemudian ditiru di 200 kota di Indonesia.

Ia bercerita kepada para wartawan,“Dulu ketika masih menjadi siswa Sekolah Pelayaran Tinggi pada waktu libur akhir pekan saya ke rumah paman di kampung Bukit Duri. Saya lihat kampung itu bersih, jalannya bagus dan teratur. Ketika menjadi Gubernur dan saya akan memperbaiki daerah-daerah kumuh saya teringat Bukit Duri. Dulu Belanda menjadikan Bukit Duri sebagai koridor daerah Menteng untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke Menteng yang merupakan daerah hunian orang-orang Belanda. Kemudian saya datang ke Bappenas tapi ditolak karena perbaikan kampung bukan prioritas. Pada waktu itu prioritasnya adalah menekan inflasi, mengobati ekonomi kita yang sakit. Akhirnya lima tahun pertama saya menggunakan dana APBD.”

“Ketika baru diangkat menjadi Gubernur, dua hari saya keliling Jakarta naik bus kota. Pada waktu hujan saya ikut berdesakan dengan para penumpang bus. Bau. Jakarta perlu banyak bus. Juga perlu shelters agar masyarakat tidak kepanasan dan kehujanan selama menunggu bus. Saya punya rencana, saya cari dananya, dan rencana itu langsung saya wujudkan.”

Sumber: buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab

Sabtu, 03 Juli 2021

Soekarno Dianggap Seperti Dukun

 


Di pengasingannya di Bengkulu Soekarno dianggap sebagai orang cerdik pandai. Orang datang minta nasihat kepadanya. “Ada kerbau milik seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Ia hampir putus asa karena baginya kerbau itu sangat besar artinya. Ia datang kepadaku dan menganggapku seperti dukun,” cerita Soekarno kepada Cindy Adam, penulis biografinya. Soekarno menasihati sang Marhaen: “Ajukan persoalan ini ke pengadilan. Aku akan mendoakan.” Tiga hari kemudian kerbau itu kembali.

“Saya sudah tujuh bulan tidak haid,” kata seorang perempuan yang datang menangis ketika menemui Soekarno.

“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” jawab Soekarno.

“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada Bapak. Saya merasa sangat sakit. Tolonglah, tolonglah, tolonglah saya.”

Perempuan itu sangat percaya kepada Soekarno. “Aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan mengecewakannya. Karena itu kubacakan untuknya surah pertama dari Alquran ditambah dengan doa yang maksudnya sama dengan Bapak kami yang ada di surga,” cerita Soekarno. Perempuan itu kemudian sembuh.

Tetangga Soekarno, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Ia yakin dengan mengemukakan masalahnya kepada Soekarno, masalahnya dapat diselesaikan. Ia benar. Soekarno keluar dan menggadaikan bajunya untuk memberikan tiga rupiah enam puluh sen yang dibutuhkan tetangganya. “Di mata orang kampung yang bersahaja, aku lambat laun dianggap seperti dewa. Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dua puluh tahun darinya. Ia memanggilku Bapak, demikian untuk seterusnya.”

Di rumah Soekarno bersama Inggit Garnasih di Bengkulu ada radio di kamar belakang. Pada suatu malam teman-teman mereka mendengarkan radio di rumah itu. Fatmawati juga datang untuk mendengarkan, duduk di tempat kosong di sebelah Soekarno di atas divan. Malam itu juga Inggit menyatakan kepada Soekarno: “Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba-coba menyembunyikannya. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya yang menyinar kalau ada orang lain mendekat. Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis, menurut kebiasaan lebih dekat kepada Ibu, bukan kepada Bapak.”

Tahun berganti tahun. Fatmawati tumbuh menjadi gadis cantik. Umurnya 17 tahun sementara Inggit sudah mendekati usia 53 tahun. “Aku masih muda, kuat, dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan. Pada suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari bahwa aku kehilangan Fatmawati, aku membutuhkannya,” tutur Soekarno.

Hubungan Inggit dan Soekarno menjadi tegang. “Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Oleh karena itu aku mencari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar guru-guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar Alim-Ulama Antar-Pulau Sumatera- Jawa dan berhasil mengemukakan kepada mereka rencana memodernkan Islam.”

Soekarno juga menyibukkan diri dengan menulis artikel. Karena ia dilarang menulis oleh pemerintah Hindia Belanda, ia memakai nama samaran Guntur atau Abdurrachman. Masalah muncul karena ia tidak mengetik. Torehan tulisan tangannya mudah dibaca dan sudah diketahui banyak orang. Ia berusaha mengubahnya sedikit tapi ternyata masih terlihat bentuk-bentuk huruf yang sama. “Karena itu aku mengubahnya sama sekali. Aku menulis dengan huruf-huruf cetak atau menulisnya dengan tangan kiri.”

 

 

 

 

 

Sabtu, 19 Juni 2021

Menulis ‘Indonesia Menggugat’ di Depan Kaleng Tinja


16 Juni 1930. Suratkabar menyiarkan pidato Gubernur Jendral pada sidang pembukaan Dewan Rakyat. Judulnya: “Soekarno Pasti Dihukum.” Tulisan selanjutnya: “Tidak mungkin membebaskan Soekarno dari tuntutan, kata para pembesar.” Tanggal diadilinya sudah ditetapkan. Hanya tiga minggu sebelum Soekarno bertemu dengan para pembelanya yang dipilihnya sendiri: Ketua PNI Cabang Jawa Tengah Sujudi S.H. yaitu tuan rumah di mana ia ditangkap, rekannya dari Algemeene Studeeclub yang mengurus keuangan partai Sartono S.H., dan satu lagi kawannya: Sastromuljono S.H. Semua tidak dibayar karena Sukarno tak punya uang, bahkan para pengacara itu menanggung pengeluarannya sendiri.

Sel Soekarno di
penjara Banceuy, Bandung

Sartono tampak berpikir keras bagaimana agar Soekarno bebas dari tuntutan hukum. Sartono dan Soekarno tahu bahwa Soekarno tidak akan bisa bebas. Soekarno menempatkan satu tangannya ke pundak Sartono. “Sartono, bukan maksudku membanggakan diri. Tetapi ketika aku masuk bui, beginilah keputusanku. Kalau sudah nasibku menahan siksaan, biarkan saja. Bukankah lebih baik aku menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selamanya?” 

Di dalam penjara Banceuy di Bandung mereka diizinkan bertemu di ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Sartono tinggal di Jakarta. “Aku cepat-cepat datang kemari segera setelah mendengar kabar. Tetapi polisi mempersulit. Untuk beberapa waktu seakan-akan aku sendiri berada dalam bahaya penahanan,” kata Sartono. Soekarno memandangnya dengan air mata berlinang karena berterima kasih.

Di penjara Soekarno tidak disediakan meja untuk bisa menulis dengan nyaman. Ukuran selnya 1,5 x 2,5 meter. Hanya tempat tidur yang ada di dalam selnya dan sebuah kaleng yang dibagi dua: untuk buang air kecil dan buang air besar. Setiap pagi ia harus menyeretnya dari bawah tempat tidur, menjinjingnya ke kakus, lalu membersihkan kaleng itu.

Malam demi malam tak henti-hentinya ia mengangkat kaleng itu ke tempat tidur. Ia duduk bersila, menulis beralaskan tempat tidur, dengan kaleng berbau tidak enak di hadapannya. Soekarno menempatkan beberapa helai kertas untuk alas kaleng itu. Ia mulai menulis. Kertas dan tinta dibawakan dari rumahnya. Dengan cara itu ia tekun menulis pembelaannya dengan judul Indonesia Menggugat yang kemudian menjadi sejarah politik Indonesia.

Sumber: buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

 

 

Rabu, 09 Juni 2021

Membahas Jas

Jas model single-breasted maupun double-breasted adalah busana yang paling mudah membuat penampilan pemakainya menjadi jauh lebih baik atau lebih buruk, tergantung pada kualitas jas tersebut. Oleh karena itu kualitas jas perlu menjadi prioritas.

Kualitas jas dapat segera terlihat dari potongan dan bahannya. Jas berkualitas tinggi tentu mahal harganya. Anda dapat segera melupakan harganya tapi tak dapat melupakan kualitasnya selama bertahun-tahun. Jas akan tampak elegan bila potongan, bahan, dan warnanya bagus, serta dikenakan dengan rapi dan benar.
Jas sebaiknya disesuaikan dengan bentuk tubuh agar tampak proporsional. Jas yang dijahit khusus untuk tubuh Anda adalah jas yang paling ideal. Jas yang sesuai dengan bentuk tubuh akan tampak lebih bagus daripada jas yang tak sesuai dengan bentuk tubuh. Pria bertubuh kurus dengan tulang-tulang yang kecil akan tampak bagus dengan jas berpotongan ramping, bantalan bahu (padding) tipis, dan kelepak kerah kecil, serta pipa celana yang tidak longgar.
Stelan jas (suit) yang dikenakan Prabowo Subianto
kurang pas di tubuhnya

Pria bertubuh atletis dan berbahu bidang tidak perlu mengenakan bantalan bahu pada jasnya. Jas dapat dipotong ‘natural’ sesuai bentuk tubuhnya.
Pria bertubuh besar memerlukan potongan yang tidak membuat tubuhnya tampak semakin besar. Agar jas tampak proporsional dengan bentuk tubuh diperlukan penjahit yang sudah berpengalaman dalam membuat jas.
Perhatikan kerapian sambungan lengan dan bahu. Bagian bahu jangan merosot ke arah lengan atau tertarik ke atas. Kelepak kerah jas harus tampak flat, bagian belakangnya menempel pada kerah kemeja, dan bagian depannya menempel pada dada.
Perhatikan kerapian jahitan pada atas bahu, pada sambungan lengan dan pundak, pada lubang kancing, pada lubang lengan, dan pada bagian tengkuk.
Pada bagian saku jas perlu diberi pelapis. Seluruh jahitan harus rapi. Permukaan bahan tampak licin, tanpa kerutan. Ujung lengan jas tidak terlalu longgar dari manset lengan kemeja.
Kerah kemeja lebih tinggi sekitar dua centimeter dari kerah jas dan manset lengan kemeja harus ke luar sekitar dua centimeter dari lengan jas. Tak semua penjahit bisa menjahit jas dengan benar dan rapi. Diperlukan penjahit yang berpengalaman dan teliti untuk mendapatkan jas yang berkualitas.

Selain kerapian jahitan, kualitas bahan juga sangat penting untuk mendapatkan jas yang elegan. Wol adalah bahan terbaik untuk jas karena nyaman dikenakan dan tak mudah kusut. Ada beberapa jenis wol yang bisa Anda pilih: super 100%, cashmere, dan gabardine. Pilihlah toko tekstil yang terpercaya yang bisa merekomendasikan bahan terbaik bagi jas Anda sekaligus menjahitnya dengan rapi, sesuai dengan bentuk tubuh Anda.
Meski Anda membeli jas merk internasional yang mahal, lepaslah merk yang biasanya dijahit pada lengan jas. Bukalah kancing jas ketika Anda duduk agar Anda bisa duduk lebih nyaman.



Sumber: Busana Pria Eksekutif karya Ratih Poeradisastra

Rabu, 21 April 2021

Berbeda Jalan, Satu Tujuan

 

 

Buku ini berisi berbagai pengalaman dari sebelas penulis dalam mereka menjalankan toleransi beragama. Ada tujuh penulis muslim dan empat penulis Nasrani yang menceritakan bagaimana mereka hidup damai di Indonesia yang kaya raya akan suku dan budaya serta agama. Dengan kebhinekaan ini negara kita bagaikan pelangi yang indah berwarna-warni.

Setiap penulis buku ini memiliki pengalaman yang unik dan menarik. Ada penulis yang berasal dari keluarga yang masing-masing anggotanya memilih sendiri agama mereka.  Meski ada empat agama di dalam satu keluarga, mereka tetap bersatu pada acara leluhur mereka tanpa melanggar aturan agama masing-masing.

Ada penulis yang sejak SD sampai SMA belajar di sekolah Katolik. Ia ikut dalam kegiatan-kegiatan gereja, namun ia tetap seorang muslimah yang beribadah sesuai dengan syariat Islam.  Panitia acara di gereja menyediakan hidangan untuk berbuka puasa dan tempat salat yang dilengkapi mukena dan sajadah. Ada  pula penulis beragama Protestan yang mendapatkan bantuan dari teman-teman muslimnya dalam masa-masa sulit pandemi virus corona sepanjang tahun 2020 - 2021.

Penulis lainnya berkisah bahwa ia bertetangga dengan pendeta yang sangat dicintai masyarakat di sekitarnya yang semua beragama Islam. Ketika putra pendeta minta dikhitan dan diadakan acara selametan sunatan, sang pendeta mengundang para tetangganya untuk mengadakan pengajian di rumahnya. Ketika ia mengisolasi diri agar ia tak menularkan virus corona di lingkungannya, para tetangganya memberikan bantuan yang dibutuhkan setiap hari tanpa memandang perbedaan agama.

Ada beberapa perbedaan prinsip dari setiap agama, namun hal itu tak perlu diperdebatkan. Sebab banyak persamaan dari semua keyakinan, yaitu tentang kemanusiaan, keadilan, kejujuran, kedisplinan, kelestarian lingkungan hidup, dan sebagainya. Semua agama mengajarkan kebaikan yang sama: Tuhan mencintai semua ciptaan-Nya, manusia beriman juga mencintai semua ciptaan-Nya. Kita memiliki tujuan yang sama, hanya berbeda jalan.

 

 

Rabu, 17 Maret 2021

Kanal dan Situ untuk Mencegah Banjir di Jakarta

 


“Tuhan menciptakan bumi, tetapi orang Belanda menciptakan Netherland” Orang Belanda memang terkenal kehebatannya dalam teknik mengatasi masalah air. Sejak dulu mereka harus berjuang melawan air karena dua pertiga dari tanah di Belanda lebih rendah dari permukaan laut. Seluruh wilayah Belanda terkenal dengan kanal-kanalnya, pintu air, dan bendungan atau dam. Ketrampilan dan teknologi mengelola air ini pulalah yang mereka terapkan di Batavia setelah mereka membangun kota ini pada awal abad ke-17.

Selain sungai dan kanal, di Jakarta dan sekitarnya banyak dibuat situ atau danau buatan oleh pemerintah Hindia Belanda. Jumlahnya lebih dari 120, di antaranya di Pasar Minggu, Ciputat, Depok, Ciledug, Tangerang, dan Bekasi. Ada pula Situ Babakan, Situ Gintung, Situ Pamulang, Situ Cipondoh, Situ Pedongkelan, Situ Bojongsari, Situ Citayam, dan banyak lainnya. Di Depok terdapat 26 situ, dua atau tiga terdapat di kampus UI. Danau-danau buatan ini untuk menampung air pada musim hujan dan persediaan air pada musim kemarau. Jadi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan di Jakarta yaitu mengurangi banjir dan mengendalikan air.

Pada 1950an situ-situ itu masih berfungsi dengan baik. Beberapa situ  kemudian berubah menjadi perumahan atau pertokoan. Ini antara lain yang menyebabkan Jakarta menjadi lebih sering banjir.  Situ di dalam kota yang terkenal adalah Situ Lembang di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Pada 1950-an Situ Lembang sering dipakai untuk tempat bersantai, bahkan banyak bocah yang mandi atau bermain perahu di sana. Situ Lembang masih terawat baik sampai sekarang.

Belanda mengalami banjir besar di beberapa kotanya pada 1953. Peristiwa itu menjadi berita dunia. Setelah itu Belanda benar-benar memperbaiki seluruh sarana pengelolaan airnya.

 Sumber: Jakarta 1950-an karya Firman Lubis