Minggu, 28 Juni 2020

Tugu Selamat Datang


Setelah Perang Dunia II beberapa negara di Asia memperoleh kemerdekaannya. Negara-negara baru itu ingin memperkuat saling pengertian melalui olahraga. Mereka sepakat Asian Games diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Asian Games pertama diadakan di New Delhi, India, pada 1951.

Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-empat yang diselenggarakan pada 24 Agustus - 4 September 1962 di Jakarta. Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah ditentukan oleh hasil voting Dewan Federasi Asian Games di Tokyo pada 23 Mei 1958. Sejak itu Indonesia mempersiapkan pelaksanaan Asian Games. Bagi Presiden Soekarno pesta olahraga ini merupakan harga diri dan martabat negara kita di mata dunia.

Stadion Utama ditancapkan tiang pancangnya oleh Presiden Soekarno disaksikan Wakil Perdana Menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan, pada 8 Februari 1960. Stadion ini merupakan pinjaman lunak dari pemerintah Uni Soviet. Stadion Renang berkapasitas delapan ribu penonton selesai dibangun pada Juni 1961. Stadion Tenis berkapasitas 5.200 penonton selesai dibangun 25 Desember 1961. Kemudian dibangun Stadion Madya, Istora (Istana Olahraga), gedung bola basket, dan sebagainya. Begitu pula gedung TVRI, stasiun televisi pertama di Indonesia, selesai dibangun dan diresmikan pada 24 Agustus 1962.

Presiden Soekarno juga membangun jembatan Semanggi dan tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (kini Kempinski). Tugu Selamat Datang didirikan sebagai penyambut kedatangan para tamu dan peserta Asian Games. Di puncak tugu itu terdapat patung pemudi membawa bunga dan patung pemuda yang melambaikan tangan sebagai tanda selamat datang, menghadap ke arah bandara internasional di Kemayoran. Pada masa itu semua tamu asing yang datang di Jakarta masuk melalui Kemayoran dan langsung menuju ke Hotel Indonesia. Jadi mereka melihat tugu Selamat Datang di depan hotel yang pada waktu itu satu-satunya hotel di Jakarta.

Presiden Soekarno meminta Henk Ngantung, seniman yang juga Wagub Jakarta, untuk mendesain tugu Selamat Datang. Pembuatnya adalah sebuah tim pematung yang dipimpin Edhi Sunarso. Tinggi patung ini lima meter dengan tiang penyangga sepuluh meter. Tugu Selamat Datang diresmikan Presiden Soekarno pada 1962.


Sabtu, 27 Juni 2020

Mensyukuri Perbedaan

Bila kita melancong ke negeri-negeri orang, kita tersadar ternyata di atas planet bumi yang kecil dan fana ini dihuni manusia dengan ragam bahasa, budaya, warna kulit, hingga agama yang tidak mungkin dapat diseragamkan.
Kalau memang seluruh penduduk bumi harus memiliki satu keyakinan yang sama, mengapa hal itu tidak dilakukan Tuhan? Bukankah Tuhan sangat mampu untuk melakukan apa saja yang Ia inginkan? “...kalau Aku mau, aku seragamkan seluruh penduduk bumi untuk memiliki satu keyakinan, tetapi Aku ingin agar kalian semua dapat bersyukur...”
Keragaman memang merupakan kodrat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Keragaman itu meliputi semua hal, mulai dari unsur binatang, tumbuhan, hingga unsur-unsur alam. Banyaknya keragaman itu semakin membuktikan kesempurnaan Tuhan. Seakan dengan bahasa bodoh kita mengatakan: “Kalau Tuhan hanya menciptakan makhluk dengan jenis yang sama, Tuhan tidaklah kreatif...”
Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan keragaman itu? Tentu saja menghargai perbedaan. Dengan menghargai perbedaan itu sama artinya kita menghargai apa yang telah Tuhan berikan. Inilah yang disebut bersyukur. Dan memang bila kita menghargai keragaman, kita tidak akan memaksakan pihak mana pun agar menjadi seperti apa yang kita inginkan.
Sumber: buku 250 Wisdoms. Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat

Sejarah Hari Film Nasional


Bioskop pertama di dunia berlangsung di Paris, Prancis, pada 28 Desember 1895. Pada waktu itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Gambar idoep (bioskop) pertama di Batavia (kini Jakarta) diadakan oleh pemerintah Belanda pada 5 Desember 1900.

Sementara itu perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka menggebu, apalagi sesudah lahirnya perkumpulan Boedi Oetomo pada 1908. Gelora persatuan makin menyala dengan adanya Soempah Pemoeda pada 1928. Kian menonjol tokoh muda Ir.Soekarno atau biasa disebut Bung Karno yang dikagumi banyak orang karena perjuangannya melawan penjajah Belanda. Salah seorang pemujanya adalah Mohammad Noer, orang Minang yang bekerja di koran Pemandangan pimpinan Saeroen. Melalui tulisan-tulisannya Saeroen berjuang melawan penjajah Belanda. Ia membuat rubrik Kampret di koran itu yang isinya menyerang penjajah Belanda. Koran Pemandangan kemudian dibredel pada 1937.  

Mohammad Noer memberi nama Sukarno untuk putranya karena kekagumannya pada Bung Karno. Setelah Sukarno M.Noer dewasa, ia mengubah namanya dari M.Noer menjadi M. Noor karena ia mengagumi aktor populer Malaysia Roomai S.Noor. Putra ke-tiga dari pernikahan Sukarno M.Noor dengan Istiarti Rawumali dinamakan Rano yang kemudian juga menjadi aktor terkenal dan menjadi Gubernur Banten (2014 – 2015).

Pada 3 Januari 1946 Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para petinggi pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta karena Jakarta sangat tidak aman pada waktu itu. Berbagai usaha pembunuhan terhadap para petinggi pemerintah Indonesia dilakukan tentara Belanda yang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Sedangkan Yogyakarta cukup aman dari gangguan Belanda dan fasilitasnya cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.

Sebagian anggota perkumpulan sandiwara Maya pimpinan Usmar Ismail serta rombongan Bintang Timur dan Pantjawarna pimpinan Djamaludin Malik pindah ke Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang. Perusahaan film swasta dilarang berproduksi oleh Jepang sehingga orang film kembali ke panggung. Dr. Huyung, orang Korea dengan nama asli Hue Yong,  datang sebagai perwira Jepang yang tugasnya mengontrol sandiwara. Naskah sandiwara harus tertulis dan diperiksa lebih dulu, para pemain harus patuh pada naskah, dilarang berimprovisasi. Pada masa ini lahir naskah sandiwara Tjitra karya Usmar Ismail dan naskah sandiwara lainnya. Ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada 1945 Huyung membelot, ia memilih berada di pihak Indonesia.

Di Yogyakarta Usmar Ismail dan kawan-kawan berkumpul dalam kelompok diskusi film pimpinan Huyung. Rombongan Seniman Merdeka yang terdiri atas para pemain sandiwara keliling juga pindah ke Yogyakarta. Sebelumnya mereka bermain di berbagai pelosok Jakarta untuk mengobarkan semangat untuk tetap merdeka.

Pada 1949 pendudukan Belanda berakhir. Indonesia menjadi negara berdaulat pada 1950 dan Jakarta kembali menjadi ibu kota RI. Sebagian pemain sandiwara kembali ke Jakarta pada 1947 atau 1948 tapi kebanyakan kembali antara 1949 dan 1950. Pada 1948 Air Mata Mengalir di Tjitarum dibuat oleh perusahaan film Tan & Wong (gabungan Tan Bersaudara dan Wong Bersaudara) dan Saputangan diproduksi perusahaan film Bintang Surabaja milik The Teng Chun dan Fred Young. Huyung membuat film Antara Bumi dan Langit yang dibintangi S.Bono pada 1950. Usmar Ismail dengan Perfini-nya membuat film Darah dan Doa. Syuting pertamanya dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Sumber: buku Jejak Seorang Aktor Sukarno M.Noor karya S.M.Ardan


Jumat, 26 Juni 2020

Tionghoa di Indonesia

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama selalu menyediakan waktu
untuk mendengarkan pengaduan warga Jakarta.

Sejak Batavia dibangun oleh Jan Pieterszoon Coen pada permulaan abad ke-17, penduduk China sudah banyak yang datang untuk bermukim di sini. Pada mulanya yang datang hanya pria China. Maka banyak di antara mereka yang kawin dengan perempuan pribumi. Keturunannya disebut China peranakan atau kiau-seng. Mereka kemudian banyak menikah dengan sesama keturunan China peranakan dan membentuk komunitas.
Setelah akhir abad ke-19 barulah para perempuan China datang ke Nusantara sehingga ada penduduk China yang disebut totok atau hookiau. Itu sebabnya ada penduduk China yang kulitnya kecoklatan dan ada pula yang kulitnya putih kekuningan. Ada yang matanya lebar dan ada yang sipit sekali. Bahkan ada pula China yang kulitnya sangat gelap seperti orang China Benteng di Tangerang dan petani China di Serpong. Aktor Tan Tjeng Bok yang terkenal pada 1950-an sampai 1960-an berkulit gelap sampai dijuluki Si Item.

Banyak pula keturunan China yang sudah berasimilasi penuh menjadi penduduk asli sehingga tidak mau lagi disebut sebagai keturunan China, padahal kulitnya terang dan matanya sipit. Bahkan ada yang menjadi lebih pribumi daripada orang Melayu, misalnya menjadi ustad atau tokoh masyarakat lokal. Lucunya ustad ini menunjukkan sikap antiCina.

Yang menarik, ada orang China yang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ia bersungguh-sungguh bekerja menjadi pelayan warga, namun pada 9 Mei 2017 ia dipenjara karena dianggap menista agama terkait surat Al Maidah 51. Tuduhan penistaan agama itu didasarkan pada video pidatonya di kepulauan Seribu yang diedit Buni Yani, pria asal Lombok, yang beredar di media sosial. Gubernur Ahok atau Ir. Basuki Tjahaja Purnama menerima hukumannya dengan ikhlas. “Pada waktu saya menjadi Gubernur, saya menguasai kota. Di dalam penjara saya menguasai diri,” katanya.
Bisa menguasai diri adalah kemenangan yang sesungguhnya.


Ibu kota RI Pindah ke Yogyakarta




Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan RI, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Jelas mereka datang untuk menjajah kembali setelah Jepang dikalahkan Sekutu. Tentara Belanda ikut membonceng bersama Pasukan Sekutu yang bertugas melucuti dan memulangkan tawanan Jepang dari Indonesia. Pada Oktober 1945 NICA (Netherlands-Indies Civil Administration atau pemerintah sipil Hindia Belanda) mulai membuka kantor. Van Mook menjadi pimpinan kantor itu. Kedatangan Belanda banyak memunculkan masalah.
Pada akhir 1945 keadaan Jakarta sangat kacau dan tidak aman. Pembunuhan, penculikan, dan penjarahan terhadap orang-orang Republik sering terjadi. NICA sangat buas meneror penduduk Indonesia yang pro kemerdekaan. Jika ada pemuda yang mengenakan lencana merah putih, maka NICA akan memaksa agar orang itu menelan lencananya. Mereka menembak membabi buta. NICA  konflik dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan para pejuang di jalan-jalan di Jakarta. Kabinet Perdana Menteri Sjahrir kemudian mengeluarkan maklumat 19 November 1945. Sesuai isi maklumat itu, TKR ke luar dari Jakarta dan bermarkas di Tangerang, Krawang, dan Cikampek.

NICA mencoba membunuh Soekarno berkali-kali sampai ia harus tidur berpindah-pindah untuk menghindari teror. Mereka mencoba menabrak mobil yang dikendarai Soekarno. Untungnya Presiden selamat. Pada 21 November 1945 Mr. Mohammad Roem yang tinggal di Kwitang Prapatan, Jakarta, juga ditembak segerombolan orang tak dikenal di  rumahnya. Paha kirinya diterjang peluru yang mengakibatkan  Ketua KNI Jakarta itu pincang sampai akhir hayatnya. 

Pada 26 Desember 1945 ada percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Ia sedang menuju ke kantornya dengan mobil tiba-tiba dikejar truk yang penuh dengan orang bersenjata. Sopir membelokkan mobil ke sebuah rumah, tapi tetap dikejar. Mobil berhenti, Sjahrir ke luar dari mobilnya. Seorang perusuh mengacungkan pistolnya siap menembak. Tapi keajaiban terjadi. Pistolnya macet! Tapi ia kemudian memukul  wajah Sjahrir dengan pistol. Kebetulan lewat sebuah kendaraan patroli polisi militer Inggris di tempat kejadian. Sjahrir selamat.

Dua hari kemudian  ada percobaan pembunuhan terhadap Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin. Ketika ia sedang di depan Sekolah Tinggi Guru dalam perjalanan ke rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, terjadi penembakan. Peluru nyaris melukai Menteri dan merusak mobil.

Pada 1 Januari 1946 Presiden Soekarno mengadakan rapat terbatas karena kemungkinan besar ibukota Jakarta akan jatuh ke tangan NICA. Ia mengusulkan agar petinggi negara diboyong ke daerah lain dan mengendalikan negara dari daerah itu. Rapat malam itu memutuskan, semua pejabat negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta yang dirasa aman dari gangguan Belanda. Fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.

Hasil rapat sepakat bahwa para petinggi negara akan berangkat ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 malam. Presiden Soekarno berpesan agar para pejabat negara tidak membawa bekal apa pun. Bila perjalanan ini diketahui NICA semua pejabat negara pasti akan langsung dibunuh dalam sekali serangan. Perjalanan itu penuh risiko, tapi setiap perjuangan membutuhkan keberanian.

Sugandi dari unit Balai Jasa Manggarai mempersiapkan gerbong khusus pada 2 Januari 1946 untuk memberangkatkan Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri menuju Yogyakarta. Ada delapan gerbong yang disiapkan melalui jalur Cikini. Pada 3 Januari 1946 kereta berhenti di belakang  rumah Presiden Soekarno yang terletak di pinggir rel. Presiden dan Wakil Presiden bersama keluarga mereka sudah menunggu kereta di sana. Semua lampu di gerbong kereta dan di lokomotif yang akan membawa rombongan dimatikan. Tentara NICA menyangka kereta tersebut hanya kereta biasa yang lewat kemudian akan kembali ke stasiun.

Rombongan mengendap-endap masuk ke dalam kereta. Tak ada seorang pun yang boleh bicara. Juga tidak boleh ada yang menyalakan korek api karena akan menimbulkan cahaya.  Semua harus dilakukan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sedikit pun,  dalam keadaan gelap. Suasana sangat tegang pada saat itu. Seandainya perjalanan itu diketahui NICA, negara kita pasti akan jatuh ke tangan Belanda.  Presiden, Wapres, dan para Menteri berada di dalam satu kereta yang bisa dihabisi hanya dengan satu granat.

Inilah perjalanan bersejarah di mana ibukota RI pindah ke Yogyakarta. Keluarga Presiden dan Wakil Presiden tinggal di Gedung Agung, istana Kepresidenan di Yogyakarta, sampai 27 Desember 1949.

Sumber: Artikel Kereta Api Penyelamat Republik karya Dr. Rushdy Hoesein
Lokasi pemotretan: Gedung Agung, Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta

Kamis, 25 Juni 2020

Jakarta pada era Gubernur Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama

Ruang Terbuka Hijau. Sebelumnya Kalijodo adalah daerah perjudian dan pelacuran kemudian diubah oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi Ruang Publik Terbuka Ramah Anak.

Pada era Gubernur Jokowi dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama banyak pembangunan di Jakarta: simpang susun Semanggi, MRT, LRT,  beberapa rusunawa, masjid raya Hasyim Asya’ari, taman kota Waduk Pluit, beberapa RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak), jalan layang Kalimalang, memperbanyak armada Trans Jakarta dengan bus-bus buatan Jerman, merenovasi kompleks makam Mbah Priok (belum sempat selesai), merenovasi kawasan Kota Tua (belum sempat selesai seluruhnya), dan merenovasi Lapangan Banteng (peresmiannya oleh Gubernur Anies Baswedan). Gubernur Anies membangun apa selain jembatan penyeberangan dan bongkar pasang trotoar?
Proses pembangunan simpang susun Semanggi.

Gubernur Jokowi didampingi Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengontrol pembangunan jalan MRT.




Kawasan Kota Tua yang belum sempat diselesaikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama 

Lapangan Banteng setelah direnovasi oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama

Masjid raya Hasyim Asya'ari yang dibangun Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan diresmikan Presiden Jokowi

Renovasi makam Mbah Priok yang belum sempat diselesaikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama

Penduduk miskin yang tinggal di daerah kumuh dan banjir dipindah ke rusunawa

Sebelumnya waduk ini penuh timbunan sampah dan di sekitarnya berdiri rumah-rumah kumuh


Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tidak ingin bus Trans Jakarta buatan China. Ia mengimpor buatan Jerman,

Proyek ini mangkrak sejak zaman Presiden Suharto dan diselesaikan oleh Preiden Jokowi.


Kamis, 18 Juni 2020

Allah, Terima kasih Banyak



Adik saya tak dapat BAB selama dua minggu. Ia sudah minum berbagai obat pencahar untuk mengeluarkan kotoran dari dalam perutnya. Namun semua usahanya sia-sia. “Ia terkena kanker usus,” kata dokter setelah melihat hasil rontgen pada Januari 2009. Usus adik saya lalu dipotong. Kanker ternyata masih menjalar membelit erat ususnya. Ususnya harus dipotong lagi. Tubuhnya makin kurus dari hari ke hari, seperti tulang dibalut kulit tanpa daging. Pada 13 Mei 2009 ia menghembuskan nafas terakhirnya di sisi saya dan dua suster yang merawatnya. Bagi orang yang bertubuh sehat, BAB dianggap hal yang wajar, suatu hal yang sudah semestinya terjadi. Tapi para penderita kanker pencernaan harus kehilangan usus untuk mengeluarkan kotoran di dalam perut mereka, bahkan harus kehilangan nyawa.

Beberapa minggu lalu perempuan dengan pipi kanan bengkak duduk di kursi roda yang didorong seorang pria didampingi petugas medis. Perempuan itu dimasukkan ke ruang operasi di rumah sakit. Di ruang tunggu pria itu bercerita bahwa istrinya sakit gigi sampai gusinya bengkak. Dokter gigi memberinya antibiotik. Namun selama pengobatan antibiotik, gusi terus membengkak sampai istrinya harus dioperasi oleh ahli bedah mulut. “Ternyata sakit giginya berubah menjadi tumor. Ia tidak bisa makan selama giginya sakit,” kata pria itu. Bagi orang yang memiliki gigi utuh dan sehat, mengunyah makanan dianggap hal yang wajar, menjadi kegiatan sehari-hari, dan dianggap memang demikianlah yang harus terjadi dalam kehidupan. Bila kau memiliki gigi yang lengkap dan kuat, bersyukurlah meski mungkin lauk yang tersedia hanya sederhana. Ada orang yang ingin sekali memiliki gigi seperti dirimu.

Di sebuah kios yang menerima jasa fotokopi ada seorang pria yang kehilangan separuh lengan kanannya. Ia tak dapat lagi bekerja dengan tangkas. Bersyukurlah bila kita memiliki sepuluh jari tangan. Itu karunia Allah untuk kita. Mengetik keyboard komputer, menyentuh layar HP, adalah kegiatan ringan sehari-hari, menjadi hal yang biasa saja, dianggap memang sudah semestinya begitu. Sedangkan orang yang tak memiliki tangan sangat ingin memiliki anggota tubuh yang lengkap seperti dirimu. Fa bi ayyi ālā'i Rabbikumā tukażżibān. Maka nikmat Allah manakah yang engkau dustakan? Apakah karunia itu akan kita gunakan dengan baik atau tidak, tentu pilihan ada di tangan kita.


Invictus


Menjelang kakinya diamputasi penulis William Ernest Henley (1849 – 1903) menulis puisi berjudul Invictus. Puisi ini sangat terkenal. Sapardi Djoko Damono kemudian menerjemahkannya menjadi
Yang Tak Terkalahkan

Dari selubung malam legam tak terkirakan
Yang panjang pekat dari kutub utara ke kutub selatan
Terima kasih aku sampaikan pada Kehendak Illahi
Yang menjadikan jiwaku tetap tangguh tidak terperi
Dalam cengkeraman nasib yang kuat menjepit
Aku tak pernah mengeluh atau menjerit
Di bawah pukulan bertubi oleh nasib buruk
Kepalaku bersimbah darah, aku tidak menunduk
Di tempat yang digenangi air mata dan kebencian
Yang muncul hanya bayang-bayang kengerian
Namun tahun demi tahun yang penuh ancaman
Tak akan bisa membuatku kalut dan ketakutan
Betapa sempit pun gerbang yang harus kulalui
Betapa kejam pun hukuman yang harus kujalani
Aku adalah penguasa nasibku
Aku adalah nakhoda jiwaku

Selasa, 16 Juni 2020

Akutagawa

“Kalau seorang penulis dapat mewarisi sepuluh karya yang masih berharga dibaca tiga puluh tahun setelah ia meninggal, ia dapat disebut empu. Kalau hanya mewarisi lima karya seperti itu, ia tergolong penulis terkenal. Kalau hanya dapat mewarisi tiga karya seperti itu, ia masih patut disebut penulis,” kata Akutagawa yang bunuh diri pada 1927 ketika usianya 35 tahun dan mewarisi 150 karya fiksi.
Lebih dari 75 karya Akutagawa masih berharga dibaca setelah penulisnya meninggal lebih dari tiga puluh tahun. Begitulah menurut Prof. Beongcheon Yu dari Wayne State University dalam buku Akutagawa: An Introduction.
Di Indonesia, Akutagawa baru mulai dikenal hampir seperempat abad setelah ia bunuh diri, yaitu ketika film Rashomon yang disutradarai Kurosawa Akira diedarkan, setelah film itu memperoleh Grand Prix dalam Festival Film Internasional ke-12 di Venice pada 1951. Film itu dibuat berdasarkan dua buku karya Akutagawa: Yabu no Naka dan Rashomon.
Terinspirasi oleh keberhasilan film itu, penulis Harsja Bachtiar menerjemahkan karya Akutagawa berjudul Yabu no Naka menjadi Di Balik Semak dan dimuat di majalah Zenith. Beberapa tahun setelah itu, penulis Toto Sudarto Bachtiar menerjemahkan cerita Akutagawa yang lain yaitu Kesa dan Morito (Kesa to Morito) dimuat dalam majalah Siasat. Kemudian diikuti penulis Winarta Adisubrata yang menerjemahkan Layar Neraka dan Kappa. Penulis Hasan Amin kemudian juga menerjemahkan bebas beberapa buku karya Akutagawa dan menerbitkannya menjadi buku-buku tipis, yaitu Rashomon dan Aneka Kisah, Pesta Dansa, dan Cerpelai.
Akutagawa kurang dikenal oleh generasi muda masa kini yang tidak tertarik pada sastra Jepang. Tapi kata-katanya yang fenomenal masih diingat sampai sekarang: “Jangan takut pada senjata, kecuali pada para tentara yang tahu cara menggunakannya.”

Islam Nusantara


Agama berisi nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, kedisplinan, kebersihan, ketekunan, dan kasih sayang kepada sesama manusia. Nilai-nilai moral itu seperti mata uang yang diterima di semua negara.
Umat Islam di Indonesia melakukan pengajian setelah tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari pemakaman. Ini adalah kebudayaan Nusantara, bukan kebudayaan Arab. Umat Islam di Indonesia melaksanakan ijab kabul secara agama namun dilengkapi upacara adat pada hari pernikahan. Juga bisa kita lihat acara 'pengantin sunat' pada hari seorang bocah dikhitan. Khitan adalah kewajiban untuk lelaki muslim, tetapi acara pengantin sunat adalah kebudayaan Nusantara.

Orang Islam di Indonesia biasa makan ketupat pada hari Idul Fitri, ziarah (nyekar) ke makam leluhur, mudik, berkeliling menabuh bedug, memakai sarung, memberi uang kepada kanak-kanak yang datang bersilaturahmi pada hari Lebaran. Itu adalah kebudayaan Nusantara, bukan kebudayaan Arab.
Nilai-nilai moral agama berlaku universal, namun adat istiadat berbeda di setiap negara.

Rabu, 10 Juni 2020

Dialog Prof.DR.H.Kadirun Yahya dengan Presiden Ir.Soekarno tentang Allah


Ini adalah tulisan Bambang Iman Santoso yang beredar di media sosial Facebook:
Mungkin ini adalah pertemuan dan dialog sakral yang mencerahkan sekaligus mengagumkan, yang dialami oleh Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Msc – seorang angkatan 1945, ahli sufi, ahli fisika, dan Rektor Universitas Panca Budi, Medan – dengan Presiden Ir. Soekarno.
Ia bersama rombongan saat itu diterima di beranda Istana Merdeka pada sekitar Juli 1965 bersama dengan Prof. Ir. Brojonegoro, Prof. dr. Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda.
“Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh tiga Profesor,” kelakar Ir. Soekarno membuka dialog ketika menemui rombongan Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk.
“Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya,” pinta presiden Soekarno kepada Prof. Kadirun Yahya, terkesan khusus.
“Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen (saya dengar tentang engkau sudah sejak empat tahun lalu tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.
“Ya, tentang apa itu, Bapak Presiden?”
“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira sepuluh tahun, saya cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya.”

“Lantas soalnya apa, Bapak Presiden?”
“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya majukan pertanyaan yang sebenarnya” jawab Presiden Soekarno.
“Baik Presiden” kata Prof. Kadirun Yahya
“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan surga?” tanya Presiden. “Surga” jawab Prof.Kadirun Yahya.
Accoord (setuju),”balas Presiden terlihat lega.
Menyusul Presiden bertanya untuk soal berikutnya. “Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat surga?” tanyanya.
“Untuk Presiden, Jenderal, Profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan ber-abdi pada negara, nusa, dan bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk nirwana,” jawab Prof. Kadirun.
Accoord,” kata Bung Karno (panggilan akrab Presiden).
Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor)” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dan kelihatannya Bung Karno belum ingin segera bertanya untuk yang pokok masalah. “Saya cerita sedikit dulu” kata Bung Karno.

“Silakan, Bapak Presiden.”

“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Sayapun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Al-Quran dan Al-Hadits bagaimana caranya supaya dengan mudah hapus dosa saya dan dapat ampunan dan bisa mati tersenyum.”
“Lantas saya ketemu dengan satu Hadits yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rasulullah berkata; Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing dan kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata: "Hai para sahabatku. Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, hapus dosa wanita itu dunia dan akhirat. Ia ahli surga”.
“Nah Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk sorga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli sorga. How do you explain it Professor?” tanya Bung Karno lanjut. Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas.
“Presiden, U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam sepuluh tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam dua menit saja saya coba memberikan jawabannya dan memuaskan”, katanya.
Keduanya adalah sarjana eksakta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia dan fisika.
Di atas kertas Prof. Kadirun mulai menuliskan penjelasannya.
"10/10 = 1"
“Ya” kata Presiden.
"10/100 = 1/10"
“Ya” kata Presiden.
"10/1000` = 1/100"
“Ya” kata Presiden.
"10/10.000 = 1/1000"
“Ya” kata Presiden.
"10 /∞ (tak terhingga) = 0"
“Ya” kata Presiden.
"1000.000 … / ∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"Dosa / ∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"Nah.” lanjut Prof,
"1 x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden
"½ x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden.
"1 zarah x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden.
“Ini artinya, sang wanita, walaupun hanya satu zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, mengaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar. 
Mengikutsertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh PAHALA yang Maha Besar itu. Jasa satu zarah x ∞ = ∞ dan Dosa / ∞ = 0. Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya, Presiden)” jawab Profesor.
Bung Karno diam sejenak . “Geweldig (hebat)” katanya kemudian. Bung Karno terlihat semakin penasaran.
Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?” katanya.
Profesor Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan.Lihat saja, walaupun satu milimeter jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika frekuensiNya tidak kita dapatkan," jelasnya.
“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan?” tanya Presiden kemudian.
“Melalui isi dada Rasulullah” jawab Prof.Kadirun Yahya.
“Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya: Al-Quran ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia” (Abi Syuraihil Khuza’ayya.r.a), lanjutnya.
Prof. Kadirun Yahya menyambung: “Begitu juga dalam QS.Al-Hijr :29 – Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepadaNya”.
“Nur Illahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah SWT,” kata Prof.Kadirun Yahya.
Prof. Kadirun Yahya melanjutkan, “Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!"
Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya satu juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat.”
“Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens),” jelas Prof.Kadirun Yahya.
Prof menyimpulkan, “Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Illahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi.”
“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Presiden.
Prof. Kadirun Yahya menjawab: “Memperbanyak shalawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT. Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang (HR. Abu Daud dan An-Nasay). Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih: “Tidak engkau mendapat frekuensiKu tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi RasulKu.”
Sontak Presiden berdiri. “You are wonderful." Sejurus kemudian dengan memegang kedua tangan Profesor Kadirun Yahya, Presiden pun bermohon : “Profesor, doakan saya supaya saya dapat mati dengan tersenyum."

Simbol-simbol Agama

Mengapa orang dengan begitu leluasa memasuki wacana keagamaan? Mengapa simbol keagamaan mudah dimanipulasi menjadi komoditas pers dan politik? Salah satu faktor penyebabnya adalah institusi dan ajaran agama tidak mengenal ‘lembaga litsus’ (penelitian khusus). Bahkan semua agama membuka pintu lebar-lebar dan selalu memanggil siapa pun yang hendak masuk ke dalamnya. Terlebih dalam Islam, karena tak ada lembaga kependetaan, maka praktis setiap muslim berhak dan merasa terpanggil menjadi penceramah agama. Sejarah menunjukkan, penyebaran Islam yang paling laten adalah disebarkan oleh pemeluknya meski mereka sangat awam pengetahuannya tentang Islam.
Tak adanya lembaga litsus dan hirarki struktural ini telah memungkinkan para politisi secara leluasa menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan politiknya. Biasanya rakyat malah kagum jika ada pejabat yang tampak agamis, meski paham keagamaannya pas-pasan.
Bagi masyarakat awam, kerudung memiliki konotasi agamis. Begitu pula kopiah, baju koko, dan baju gamis, dan ucapan ‘salam’ dalam bahasa Arab. Begitu pentingnya simbol-simbol keagamaan dalam wacana politik, maka pidato yang tidak dibuka dengan salam akan dirasakan hambar oleh telinga masyarakat Islam Indonesia.
Wacana keagamaan di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari wacana politik. Sebab ini menjadi sajian yang menarik bagi komoditas informasi dengan bobot yang sangat marketable. Di wilayah Asia Tenggara pergumulan agama, politik, dan etnis akan semakin menarik untuk dicermati.
Bagi dunia pers, isu agama yan bernuansa politik sanggup mendongkrak oplah penjualan majalah. Makanya isu keagamaan dengan berbagai aktornya masuk ke dalam katalog bisnis informasi. Aktornya berada pada deretan selebriti yang dikejar media massa dan industri informasi, terutama televisi. Masyarakat rela mendengarkan para aktor agama berbicara dan berlaga. Hiruk pikuk keagamaan yang sarat muatan politik.
Lalu bagaimana sikap kita? Agama diwahyukan untuk manusia -bukan manusia untuk agama- maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori KEMANUSIAAN, bukan ideologi dan sentimen kelompok.
Sumber: The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama karya Prof. Komaruddin Hidayat

Gubernur Ali Sadikin Menampar Sopir Truk

Ini cuplikan biografi Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, mengenai lalu lintas:

Lalu lintas di Jakarta brengsek. Sayalah yang paling tidak puas dengan keadaan itu. Para pengendara tampaknya sudah tidak mengenal lagi sopan santun lalu lintas, prikemanusiaan, dan rasa kasihan. Yang paling banyak melanggar disiplin dan kesopanan lalu lintas di Jakarta pada tahun terakhir jabatan saya adalah bus kota. Nomor dua, sopir-sopir sipil yang mengemudikan kendaraan ABRI (kini TNI), yang merasa lebih ABRI daripada ABRI yang asli. Nomor tiga, sepeda motor bersama angkutan umum.
Mengatur orang-orang bandel saya sampai harus bertindak keras. Sekali waktu dalam perjalanan menuju tempat upacara di Menteng Wadas, saya langsung turun tangan menindak seorang sopir truk di Jalan By Pass. Truk itu bermuatan pasir delapan ton. Kendaraan itu dengan seenaknya meluncur di bagian tengah jalan tanpa menghiraukan mobil-mobil lain di belakangnya, meski terus diklakson. Kendaraan yang saya naiki tepat di belakang truk itu.
Saya suruh sopir saya membunyikan klakson. Tapi truk itu terus saja meluncur, tak menghiraukan orang lain di belakangnya. Saya suruh sopir saya mengejar truk itu. Saya suruh sopir truk itu menghentikan kendaraannya. Tapi sopir truk tetap bandel, tidak mau berhenti. Ia bahkan mau melarikan diri. Akhirnya setelah dikejar terus barulah truk itu berhenti di tengah jalan. Mobil saya berhenti di pinggir jalan. Saya ke luar dari mobil. Setengah berteriak saya suruh sopir truk turun.
“Truk siapa ini?” tanya saya.
“Truk ALRI, Pak,” jawabnya.
“Mana surat tugas dan SIM-mu?”
Sopir truk memperlihatkan surat-suratnya. Saya langsung tanya lagi: “Apa kamu tidak merasa bersalah?”
“Tidak, Pak,” jawabnya. “Kan boleh saja jalan di kanan.”
Tanpa berkata apa-apa saya menamparnya.
“Kalau bawa muatan berat, apa boleh jalan di tengah?”kata saya.
Sebelum sopir menjawab, saya menamparnya lagi. “Seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Kamu tidak menghiraukan orang lain. Kamu memalukan ALRI. Saya juga ALRI.” Saya beri sopir itu peringatan keras: “Jadi ABRI jangan sembarangan.“
Di dalam mobil saya masih jengkel. “Dikira karena sudah ABRI, boleh semaunya. Malahan seharusnya sebaliknya. ABRI harus memberi contoh yang baik kepada rakyat. Terutama disiplin diperlukan dalam segala bidang.”
Sumber: buku Bang Ali Demi Jakarta 1966 – 1977

Empat Tokoh Tionghoa dalam BPUPKI

Ketika Soekarno merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ada empat tokoh Tionghoa dalam sidang BPUPKI, yaitu Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Mr. Tan Eng Hoa.
Liem Koen Hian memperjuangkan agar warga Tionghoa peranakan bisa menjadi menjadi warga Negara Indonesia dan mengusulkan masuknya kebebasan pers dalam rancangan Undang-Undang Dasar.
Sementara Tan Eng Hoa mengusulkan pasal kemerdekaan berserikat masuk dalam Undang-Undang Dasar sehingga kemudian dirumuskan menjadi Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Keterlibatan empat tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI dimuat dalam ‘Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Pertama’ karya Prof. Mr. Muhammad Yamin, 1959. Namun nama keempat tokoh Tionghoa ini dihilangkan dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia edisi ke-empat yang terbit pada 1984.
Sumber: Diskusi Publik ‘Peran Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme Indonesia’ yang diadakan Kecapi Batara pada 2 Juni 2018 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi.