Kamis, 26 Oktober 2017

Sumpah Pemuda



Sejak perkumpulan Boedi Oetomo berdiri pada 1908 pergerakan kepemudaan di tanah air mulai terorganisir dengan baik. Mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan Indisch Vereneging pada 1908. Sementara di tanah air terus bermunculan organisasi kepemudaan dan kepanduan. 
Tampilnya para tokoh muda dalam pergerakan nasional adalah salah satu dampak dari politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-20. Politik etis ini memberi kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menempuh pendidikan Barat. Pendidikan ini kemudian mendorong para pemuda Indonesia untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Pada 7 Maret 1915  berdiri organisasi pemuda pertama di kalangan masyarakat kota dengan nama Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia). Tri Koro Dharmo didirikan Satiman Wirjosandjojo di gedung Stovia. Pada Kongres Pertama di Solo,12 Juni 1918, Tri Koro Dharmo diubah namanya menjadi Jong Java. Kemudian berdiri organisasi sejenis seperti Jong Sumatranen Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Sekar Rukun, Pemoeda Kaoem Betawi, dan lain-lain.  

 

Para tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda kemudian membuat Manifesto Politik pada 1925. Prinsip-prinsip manifesto itu adalah unity, liberty, and equality. Manifesto ini berdampak besar di tanah air.

Pada 15 November 1925 diadakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri para pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun, dan peminat perorangan. Pertemuan itu untuk membentuk panitia yang bertugas mengadakan Kongres Pemuda pertama. Tujuannya untuk kerjasama diantara berbagai organisasi pemuda di tanah air untuk persatuan Indonesia. Kongres Pemuda pertama diadakan di Jakarta pada 30 April – 2 Mei 1926.

Para tokoh pemuda di Bandung seperti R.M Joesoepadi Danoehadiningrat, Soegiono, Mr. Soenarno dan Mr. Sartono sependapat bahwa perlu ada semacam koreksi pergerakan pemuda. Sudah tiba waktunya untuk membentuk organisasi yang berazaskan kebangsaan dan netral terhadap agama.
Gagasan ini diwujudkan pada 20 Februari 1927 melalui pembentukan Jong Indonesia di Bandung. Organisasi ini mempunyai cabang di delapan kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Solo, Bogor, dan Purwakarta. 

Nama Jong Indonesia yang dianggap kebarat-baratan lalu diubah menjadi Pemuda Indonesia pada 28 Desember 1927. Seiring dengan semangat kebangsaan, bahasa Melayu dianjurkan digunakan untuk acara-acara perkumpulan. 

Setelah Kongres pertama mereka mengadakan serangkaian pertemuan untuk mencapai cita-cita persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kongres ke-II diadakan pada 27 – 28 Oktober 1928 di gedung Kramat 106, Jakarta. Melalui Kongres Pemuda ke-II organisasi kepemudaan di tanah air mengikrarkan tekad persatuan. Ikrar pada 28 Oktober 1928 itu kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

Fotografer: Endro S. Markam

Rabu, 25 Oktober 2017

Lagu Indonesia Raya Direkam oleh Yo Kim Tjan




Wage Rudolf Soepratman menghubungi para pemilik perusahaan rekaman yang ada di Batavia, yaitu Odeon, ThioTek Hong, dan Yo Kim Tjan, untuk merekam lagu Indonesia Raya. Hanya Yo Kim Tjan yang bersedia merekam lagu Indonesia Raya karena yang lainnya takut ditangkap Belanda. Pada waktu itu Belanda sudah mengendus gerakan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemudi Indonesia. WR Soepratman adalah pekerja paruh waktu sebagai pemain biola di orkes Populer yang dipimpin Yo Kim Tjan. 

Selain itu WR Soepratman juga bekerja sebagai wartawan lepas surat kabar Sinpo, koran yang diterbitkan masyarakat Tionghoa. Sin Po adalah surat kabar pertama yang mempublikasikan teks lagu Indonesia Raya sesudah dikumandangkan WR Soepratman pada Hari Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928.

Yo Kim Tjan mengusulkan agar rekaman lagu Indonesia Raya dibuat dalam dua versi, yaitu versi asli yang dinyanyikan langsung oleh WR Soepratman sambil bermain biola. Versi ke-dua adalah yang berirama keroncong yang nyaris tidak banyak diketahui masyarakat. Versi keroncong dimaksudkan agar semua orang Indonesia sudah tahu irama lagu kebangsaan bila kelak dikumandangkan.
Kedua lagu itu direkam di rumah Yo KimTjan di Passer Baroe, di daerah Jalan Gunung Sahari, Batavia,  dibantu seorang teknisi berkebangsaan Jerman. Master rekaman piringan hitam berkecepatan 78 RPM yang versi asli suara WR Soepratman disimpan dengan hati-hati oleh Yo Kim Tjan. Hanya versi keroncong yang kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak.

Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan oleh WR Soepratman pada 28 Oktober 1928, Belanda menjadi panik. Mereka menyita semua piringan hitam versi keroncong baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih dalam perjalanan dari London ke Batavia. Belanda tidak mengira bila lagu yang dinyanyikan oleh WR Soepratman sebetulnya sudah direkam setahun sebelumnya tanpa ada yang tahu. 

Master lagu ini luput dari pengetahuan penjajah Belanda dan Jepang. Puteri sulung Yo Kim Tjan, Kartika, menyimpan masternya dengan sangat hati-hati. Sesuai amanah WR Soepratman yang meminta Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan master lagunya agar bisa didengungkan pada waktu Indonesia merdeka. Pada 1942 keluarga Yo Kim Tjan membawa dan menyelamatkan master lagu itu dalam pengungsiannya ke Krawang, Garut, dan lain-lain.



Pada 1953 Yo Kim Tjan ingin memperbanyak lagu asli Indonesia Raya. Ia menghadap ke Pemerintah yang ketika itu diwakili Maladi sebagai ketua RRI yang berkuasa atas pengeluaran izin rekaman. Namun permohonan Yo Kim Tjan ditolak. Kemudian pada 1957 master itu  diminta dengan alasan ingin dikeluarkan hak ciptanya, tapi ternyata lagu itu dinyatakan disita negara. Tragisnya master asli yang luput dari penyitaan penjajah Belanda dan Jepang ternyata hilang tak berbekas di tangan anak bangsa sendiri. 

Syukurlah sekeping piringan hitam lagu Indonesia Raya versi keroncong ini bisa diselamatkan keluarga Yo Kim Tjan.  Rekaman versi keroncong bisa didengarkan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta.

Sumber: artikel karya Udaya Halim, pemilik Museum Benteng Heritage, berdasarkan wawancaranya dengan Kartika.

Fotografer: Endro S.Markam
Lokasi: Museum Sumpah Pemuda

Selasa, 03 Oktober 2017

Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro




Go Tik Swan adalah tokoh penting dalam sejarah perbatikan Indonesia. Gelar Panembahan Hardjonagoro diberikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta kepada Go Tik Swan atau Hardjono Go Tik Swan. Tokoh batik ini pada 1955 mengemban amanah dari Presiden Soekarno untuk mengembangkan Batik Indonesia, yaitu corak batik yang lebih nasionalistik berupa penggabungan rasa persatuan, rasa nasionalisme, dan rasa romantisme. 

Go Tik Swan bersama Presiden Soekarno
Pesan Presiden Soekarno untuk menciptakan Batik Indonesia adalah tugas besar yang harus dilaksanakan Go Tik Swan. Presiden Soekarno dan  Hardjono Go Tik Swan berkenalan dalam acara Dies Natalis UI pada 1955. Acara itu dimeriahkan pagelaran seni tari di Istana Negara. Presiden Soekarno melihat tarian Gambir Anom begitu indah dibawakan oleh Hardjono Go Tik Swan. Presiden lebih kagum lagi setelah mengetahui bahwa yang menarikannya adalah pemuda keturunan Tionghoa. Pada zaman itu tidak lazim keturunan Tionghoa mempelajari tarian Jawa.

Go Tik Swan mendatangi hampir seluruh pembatikan di Jawa. Ia juga berkunjung ke makam-makam leluhur namun belum menemukan ide untuk Batik Indonesia. Ketika menginap di rumah Walter Spies, pelukis asal Jerman yang tinggal di Bali, ia memperoleh ide untuk menciptkan Batik Indonesia.

Batik Indonesia karya Go Tik Swan adalah perpaduan batik klasik keraton Surakarta dan Yogyakarta dengan gaya pesisir Jawa Tengah terutama Pekalongan. Teknik pewarnaan soga pada batik Surakarta dan Yogyakarta dipadukan dengan teknik pewarnaan multiwarna pada batik pesisir.

Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro  lahir di Surakarta pada 11 Mei 1921, anak sulung dari pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio, keluarga Tionghoa yang kaya. Keluarga ibunya adalah produsen batik yang mempunyai empat pembatikan besar dan mempekerjakan ratusan pembatik. Eyang buyutnya adalah kepala kampung (Wijk Meester) Tionghoa di Surakarta. Budaya Jawa merasuk dalam diri Go Tik Swan sehingga pada awal masuk sekolah ia sudah menambahkan nama ‘Hardjono’ pada 

Go Tik Swan adalah empu dunia pernbatikan karena karya-karya batiknya yang bernilai tinggi. Ia dengan teliti, tekun, sabar, dan konsisten mengarahkan para pembatik pilihan sehingga menghasilkan batik karya adiluhung. Go Tik Swan Panembahan Hardjono meninggal di  kota kelahirannya  pada 5 November 2008.