Rabu, 30 November 2016

Membalas Kejahatan dengan Kebaikan



“Tahun 1964 – 1966, dua tahun empat bulan lamanya Ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Ayah dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Tidak hanya itu, karangan-karangan Ayah pun dilarang terbit dan beredar,” tulis Irfan Hamka dalam buku ‘Ayah’. Presiden Soekarno memisahkan ulama itu dari anak, istri, dan cucu-cucunya. Meski demikian Buya Hamka memaafkan dan mengimami shalat jenazah Soekarno. Ia mengenang  Soekarno seperti ini: 

Bung Karno adalah orang besar! Itu sudah pasti! Sebagai seorang manusia besar, jelaslah siapa Bung Karno. Jelas dalam kebaikannya, jelas dalam keburukannya. Jelas dalam tindakannya yang benar, jelas dalam tindakannya yang salah. Jelas dalam jasa, jelas dalam dosa. 

Orang besar dimuliakan setinggi langit atau dihinakan ke kerak bumi. Apabila salah satu tonggak kemuliaan runtuh, maka runtuhlah kebesaran. Tetapi pada hari kematian, jelaslah kebesaran itu. Sejak masa muda remaja, pada usia 18, Bung Karno telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya, HOS Tjokroaminoto. Seluruh kasih sayangnya, sejak muda sampai  tua, telah dikorbankannya untuk membina bangsa Indonesia. Bung Karno telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan kita. 

Bung Karno mendirikan  PNI pada 1927, ditangkap pada Desember 1929 lalu dimasukkan ke penjara Banceuy dan Sukamiskin di Bandung. Pada usia 29 tahun Bung Karno telah berhadapan dengan hakim kolonial karena dituduh hendak memberontak. Bung Karno lalu ditahan empat tahun tetapi dipotong menjadi dua tahun. Karena masih dipandang berbahaya, Bung Karno lalu diasingkan ke Ende, Flores. Menderita Bung Karno di sana selama empat tahun.

Masih dipandang berbahaya, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, akhirnya ke Padang kemudian ke Bangka Belitung. Menderita Bung Karno di sana empat tahun. Artinya, lebih dari sepuluh tahun Bung Karno dipisahkan dari bangsa yang amat dicintainya. Penjajah menyangka, dengan memisahkan itu hilanglah Bung Karno dari hati orang! Tidak! Makin Bung Karno dijauhkan, Bung Karno tambah dekat di hati. Bung Karno tidak henti-hentinya menggembleng bangsanya. 

Dua puluh dua tahun lamanya Bung Karno memegang kendali negara ini. Banyak karang dan batu. Banyak topan dan badai. Mulanya selamat dilaluinya. Kita selalu menyaksikan kekuatannya, di samping kelemahannya sebagai insan. Meski saya bukan politisi, saya sahabat lama Bung Karno. Saya mengagumi Bung Karno karena kepemimpinannya. Bung Karno mengagumi saya karena pendirian agama saya. Karena perbedaan faham, saya terpaksa menjauh. 


Pada Minggu pagi 21 Juni 1970 Oei Tjing Hien, sahabat saya dan Bung Karno,  mengabarkan bahwa Bung Karno meninggal.  Saya menitikkan air mata dan lupa bahwa hampir sepuluh tahun saya menjadi orang yang paling dibencinya. Mengapa hilang dari ingatan saya bahwa saya pernah ditahannya, dipisahkan dari istri, anak-anak, dan cucu-cucu dengan tuduhan palsu, yakni tuduhan hendak membunuh Bung Karno!
Saya terkenang masa-masa lalu, semasa persahabatan belum dikeruhi politik. Saya terkenang pada April 1944 ketika saya hendak kembali ke Medan, meninggalkan Ayah di Jakarta. Terharu melihat beliau tertatih-tatih mengantar saya ke stasiun Tanah Abang bersama Bung Karno. 

“Ini ayah kita, Bung. Bung pengganti saya,” pesan saya kepada Bung Karno.

“Jangan khawatir, berangkatlah,” jawabnya. 

Setelah mendapat kabar Bung Karno meninggal, saya spontan berkata: “Saudara Oei, saya ingin ikut menyembahyangkan. Ingatkah ketika kita bertemu bertiga di Bengkulu pada 1941? Kita berfoto bertiga untuk kenang-kenangan. Dan bertahun setelah itu, sampai politiknya berubah, hubungan kita tetap mesra dengan Bung Karno.” 

Tiba-tiba datang surat resmi dari Sekretariat Negara yang menetapkan Prof. Dr. Buya HAMKA sebagai imam shalat jenazah Bung Karno. Suatu keajaiban Allah!  Memang Bung Karno pernah berpesan kepada kepada keluarganya: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku.” Buya memenuhi amanat itu tanpa berpikir panjang bahwa ia pernah dipenjara Presiden Soekarno.

Setelah shalat jenazah, Buya berbisik di telinga almarhum: “Aku telah doakan supaya Allah mengampuni dosamu. Aku percaya pada janji Allah, walaupun timbunan dosa sampai ke langit, asal memohon ampun dengan tulus, akan diampuniNya. Juga dosamu kepadaku telah kumaafkan.” 

Perangko dan Peristiwa Sejarah



Generasi yang lahir  setelah tahun 1995 jarang sekali yang membeli perangko untuk mengirim surat, karena sudah ada internet. Sebelum era internet orang mengirim surat melalui kantorpos. Perlu membeli perangko sebagai biaya untuk mengirim surat. Perangko-perangko diberi gambar tentang peristiwa penting atau gambar tokoh-tokoh bangsa. Gambar-gambarnya bagus. Para filatelis (kolektor perangko) menyimpan berbagai macam seri perangko dari berbagai negara. Kegiatan filateli ini cukup menarik sampai awal 1980an. 

Pada 1948 perwakilan Indonesia di New York menginstruksikan perusahaan perangko J & H Stolow Inc untuk menyiapkan seri perangko untuk Republik Indonesia. Seri pertama perangko itu bertuliskan ‘Repoeblik Indonesia’. Pada 1949 ejaan dari ‘oe’ diubah menjadi ‘u’ sehingga seri perangko itu juga diterbitkan dengan tulisan ‘Republik Indonesia’. Peristiwa 6 Juli 1949 menjadi memori pada gambar perangko RI. 


Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946 karena Jakarta menjadi tidak aman dengan kembalinya tentara Belanda ke Indonesia. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sjahrir, Mohammad Roem, Amir Sjarifudin hampir dibunuh tentara NICA di Jakarta. Pada 3 Januari 1946 malam Presiden, Wakil Presiden, dan para menteri mengungsi ke Yogyakarta naik kereta api. Di Yogyakarta mereka mengurus semua kegiatan pemerintahan RI. 

Namun Yogyakarta diserang tentara Belanda pada 19 Desember 1948. Mereka menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden  Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir dan  beberapa tokoh lainnya. Mereka diasingkan di Bangka. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjarifudin Prawiranegara.
 
Di Yogyakarta para tentara Indonesia dipimpin Jenderal Sudirman secara besar-besaran  menyerang tentara Belanda pada 1 Maret 1949. Jenderal Sudirman ingin  membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih kuat dan sanggup melawan Belanda. Ini  memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB. 

Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X menjadi pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Peristiwa TNI menyerang Belanda di Yogyakarta ini dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949. Akhirnya  Dewan Keamanan PBB dalam sidangnya pada 23 Maret 1949 memutuskan: penjajah Belanda harus ke luar dari wilayah RI dimulai dari Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibukota RI.
Kemudian dilanjutkan dengan perundingan yang menghasilkan Perjanjian Roem – Royen. Salah satu isi perjanjian itu: Yogyakarta dibebaskan dari pendudukan tentara Belanda. Sejak 24 Juni – 29 Juni 1949 tentara Belanda ditarik ke luar dari Yogyakarta. Tanggal 29 Juni  1949 dinyatakan sebagai tanggal kembalinya Yogyakarta sebagai ibukota RI. Para pemimpin bangsa Indonesia tiba di Yogyakarta dari pengasingan di Bangka pada 6 Juli 1949. Jakarta kembali menjadi ibukota RI pada 27 Desember 1949.

 Foto: Buku ’71 Tahun Bingkisan Revolusi’ oleh Kantor Berita Antara
 

 

Jumat, 11 November 2016

Menarik Investor Asing Tanpa Mengorbankan Nasionalisme.


Soetaryo Sigit (1929 – 2014) adalah sarjana geologi pertama di Indonesia dan salah seorang tokoh penting pertambangan Indonesia.  Ia lulus dari jurusan Geologi FIPIA UI (kemudian menjadi ITB) pada 1956. Ia menjadi Kepala Jawatan Geologi pada 1958 kemudian bekerja di Departemen Pertambangan sebagai  Sekretaris Jenderal (1973 – 1983) dan Direktorat Jenderal Pertambangan Umum (1983 – 1989) di bawah Menteri Sadli dan Menteri Subroto. 

Di Departemen Pertambangan Sigit dihadapkan pada situasi rumit. Di satu sisi nasionalisme tidak boleh dikorbankan. Tapi di sisi lain isi perut bumi Nusantara hanya bisa bermanfaat  bagi rakyat bila dikeluarkan. Untuk mengeluarkan isi perut bumi dibutuhkan 5 M (men, money, method, machine, material).  Pada 1960an  Indonesia belum mampu untuk menambang sendiri, masih membutuhkan pihak asing untuk melaksanakannya. Tarik ulur antara nasionalisme dan pemodal asing terus terjadi di berbagai negara pemilik tambang di dunia. Pertambangan Indonesia semakin sulit karena gangguan keamanan dan pemberontakan meletus di pelbagai daerah. Keberhasilan usaha pengembangan sumber daya mineral lebih banyak ditentukan oleh kemantapan situasi politik dan iklim usaha, bukan hanya oleh kekayaan mineral. 

Pada 1965 investasi dan produksi benar-benar lumpuh. Pergolakan politik pada 1965 melahirkan pemerintah Orde Baru. Pemerintah Indonesia bangkrut pada 1966 dan sangat membutuhkan sumber keuangan dan investasi untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terjadi reformasi besar-besaran di bidang ekonomi pada era Orba. Bila Presiden Soekarno menutup diri dari  modal asing, sebaliknya pada zaman Presiden Suharto pintu bagi investor asing dibuka lebar. 

Pada 10 Januari 1967 terbit UU Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing. Soetaryo Sigit menjadi Ketua Panitia Penyusunan Naskah RUU Pertambangan Indonesia. Pada 2 Desember 1967 terbitlah Undang-undang Nomor 11 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Dengan demikian Indonesia memiliki produk hukum pertambangan yang siap untuk menyambut masuknya investor  pertambangan internasional ke Indonesia. 

Perjuangan Sigit dalam merancang, melakukan sosialisasi dan mempromosikan undang-undang baru itu kepada kalangan investor, tentu bukan hal yang mudah. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dibuat dengan harapan akan dapat diterima oleh kalangan pertambangan internasional. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 ini  juga mengacu pada  pasal 33 UUD 1945. Artinya, cadangan kekayaan alam di perut bumi bukan milik investor. Tetapi investor harus diberi jaminan jangka panjang bahwa modal besar yang ditanamnya bisa memberi keuntungan. Jalan tengahnya adalah Kontrak Karya di mana perusahaan asing hanya Kontraktor bagi pemerintah. Tapi kontraktor asing mendapat kepastian hukum, karena Kontrak Karya dilindungi Undang-undang Penanaman Modal Asing 1967. 
Di puncak Monas, 19 Oktober 2016
 


Sigit  menjadi Ketua Panitia Teknis Perundingan Kerjasama Luar Negeri sektor pertambangan dan konseptor Kontrak Karya untuk  perusahaan-perusahaan pertambangan asing di Indonesia. Puluhan Kontrak Karya yang dihasilkannya. Dalam konsep Kontrak Karya disebutkan pemerintah Indonesia tetap menjadi pemilik (Principal) dan perusahaan pertambangan asing sebagai Kontraktor (bukan pemilik).
Perusahaan-perusahaan pertambangan asing diwajibkan memberi kesejahteraan bagi penduduk lokal, mempekerjakan penduduk lokal, meminimalisir kerusakan lingkungan hidup, dan melestarikan kembali lingkungan hidup setelah penambangan selesai.

Ia juga mengembangkan produksi batubara Indonesia. Pada waktu itu Indonesia belum cukup modal dan belum mampu mengembangkan usaha pertambangan skala besar. Pada 1978 Departemen Pertambangan dan Energi mengundang para penanam modal asing untuk melaksanakan eksplorasi dan pengembangan batubara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. 

Atas jasa-jasanya di dunia pertambangan, Soetaryo Sigit  mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari ITB. Ia sering diundang ke berbagai negara untuk  menceritakan bagaimana keberhasilan Indonseia menarik investor asing tanpa mengorbankan nasionalismenya. Sigit mendapat beberapa bintang jasa dari Pemerintah Indonesia dan penghargaan dari mancanegara. Ia juga pernah menjadi Komisaris Utama PT Tambang Batubara Bukit Asam, Dewan Penasehat Indonesian Mining Association, Komisaris PT INCO, dan PT Adaro.

Jumat, 07 Oktober 2016

Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945

“Sekarang, Bung. Sekarang! Malam ini  juga!” kata Chaerul Saleh kepada  Bung Karno. Kita  harus segera merebut  kekuasaan!” tukas Sukarni Kartodiwirjo berapi-api. Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!” seru para pemuda di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Para pemuda, termasuk Wikana, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro datang ke rumah Bung Karno pada 15 Agustus 1945 pukul 22. Mereka  mendesak Soekarno agar segera merumuskan naskah proklamasi begitu Jepang dikalahkan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Tapi Bung Karno menolak keinginan mereka. Ia dan Bung Hatta ingin proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di mana Bung Karno menjadi Ketua. Para pemuda bersikeras agar  Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan. Menurut mereka, PPKI buatan Jepang. Mereka tidak ingin Bung Karno dan Bung Hatta terpengaruh Jepang dan tidak ingin kemerdekaan RI seolah-olah hadiah dari Jepang. 

Mereka lalu membawa  Bung Karno dan Bung Hatta ke rumah Djiaw Kie Siong, seorang tentara PETA, di Rengasdengklok, Karawang, pada 16 Agustus 1945 pukul 3 dinihari, untuk merumuskan naskah proklamasi. Rengasdengklok dinilai aman, sedangkan di Jakarta para tentara Jepang bersiaga penuh. Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra yang masih bayi ikut ke Rengasdengklok. Mereka dijemput Sukarni dan Winoto Danuasmoro dengan mobil Fiat hitam kecil. Di dalam mobil sudah ada Bung Hatta.

Pada 16 Agustus 1945 tengah malam Ahmad Soebardjo menjemput Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok. Sesampainya di Jakarta mereka disediakan tempat berkumpul di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1), di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Hubungan para nasionalis dekat dengan Maeda, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Ada 29 orang yang berkumpul di rumah Maeda pada malam itu. Mereka adalah Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro (Mas Suwardi Soerjaningrat), Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Teuku Mohammad Hassan, Otto Iskandar Dinata, R.Soepomo, B.M. Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, dan beberapa tokoh lainnya.  

Selama mereka berunding merumuskan naskah proklamasi, Maeda naik ke lantai atas rumahnya. Usai menulis naskah proklamasi bersama Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo, Soekarno membacakannya di hadapan para peserta rapat yang berkumpul di ruang tamu. Rapat baru selesai pada  17 Agustus 1945 pukul 3.00 dini hari, tanggal 9 Ramadhan.

Setelah mendapat persetujuan dari semua hadirin, Bung Karno segera meminta Mohamad Ibnoe Sajoeti Melik mengetik naskah proklamasi. Sajoeti mengetik naskah ditemani wartawan Boerhanoeddin Mohammad  Diah. Tiga kata dari konsep naskah proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno diketik Sajoeti dengan beberapa perubahan kata. Kata ‘tempoh’ diubah menjadi ‘tempo’,  kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ diubah menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’. Begitu pula dalam penulisan  '17-8-'05' menjadi 'hari 17 boelan 8 tahoen 05'. Tulisan tangan asli Bung Karno kemudian dibuang di tempat sampah oleh Sajoeti tapi dipungut oleh B.M. Diah, penyiar radio Hosokyoku yang juga wartawan Asia Raja. 

Begitu naskah proklamasi selesai diketik, Soekarno dan Mohammad Hatta  segera menandatanganinya di atas piano. Bung Hatta  berpesan kepada para  pemuda yang bekerja di kantor-kantor berita agar menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. 

Hari Jumat, pukul 05.00 pagi, pada 17 Agustus 1945, mereka keluar dari rumah Maeda dengan bangga karena teks Proklamasi selesai ditulis.   Bung Karno pulang ke Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi). Istri dan anaknya sudah pulang lebih dulu. Bung Karno sedang sakit malaria. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun naskah proklamasi. 

Pukul 8, dua jam sebelum upacara pembacaan teks Proklamasi, Bung Karno masih berbaring di kamarnya. Ia minum obat kemudian tidur lagi. Pukul 9 ia terbangun. “Saya greges (tak enak badan),” katanya. Ia kemudian berpakaian rapi, memakai kemeja dan celana putih. Bung Hatta dan beberapa orang sudah menunggunya. Fatmawati sudah menyiapkan bendera merah putih.

Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda berkumpul di halaman depan rumah Bung Karno. Latief Hendraningrat menjadi pemimpin upacara bendera. Mereka mendengarkan Bung Karno membaca teks proklamasi dengan hikmad, terharu, dan bangga. Beberapa orang menangis terharu. Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman dinyanyikan dengan semangat meski tanpa iringan musik. Sang Saka Merah putih dinaikkan untuk pertama kalinya, di tiang bambu. Setelah upacara yang singkat itu Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Tubuhnya masih demam. Tapi ia sangat bangga. Sebuah negara baru telah dilahirkan. Pagi itu Indonesia merdeka. Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!

 17/8/2016

Antara Persepsi dan Realitas Purwakarta

Kabupaten Purwakarta tak jauh dari Jakarta, tapi proses pembangunan tak banyak terasa di desa Cisarua dan Pesanggrahan. Sebelum tahun 2001di desa Cisarua guru hanya satu orang dan kepala Sekolah Dasar hanya satu orang untuk 260 murid dari kelas satu sampai enam. Tukang kebun ikut membantu mengajar. Papan tulis dibelah-belah. Bangunan sekolah hampir ambruk, bocor di sana-sini, dan banjir. Jalan-jalan hanya berupa jalan setapak yang belum di aspal. Tidak ada dokter, bidan pun tidak ada. Rumah sakit tidak ada. Banyak ibu hamil yang keguguran karena jalan dibuat dari pecahan batu. Juga masih ada jalan tanah yang becek dan licin bila hujan. Penduduk harus naik sampan kayu di waduk Jatiluhur untuk pergi ke kota. Banyak anak dilahirkan dalam kondisi tempurung kepala tidak menutup sempurna karena kekurangan gizi. Tidak ada toilet. Jadi ada istilah ‘dolbon’ (modol di kebun). Tidak ada air yang bisa langsung diambil di dekat rumah. Para remaja puteri yang baru masuk usia remaja dinikahkan oleh orangtua mereka tanpa sempat mengenyam pendidikan tinggi. Bila melahirkan, mereka hanya menggunakan jasa paraji (dukun persalinan). Banyak perempuan yang puting dan vaginanya berkoreng karena pakaian dalam hanya diganti tiga hari sekali.

Kebun buah naga di Cisarua

Imam B. Prasodjo datang ke desa Cisarua pada 2001 dan terpanggil untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di sana. Sosiolog dari FISIP UI ini mengajak Iis, satu-satunya guru di desa itu, untuk menceritakan kondisi desanya kepada para pendengar radio Delta. Imam rutin mengisi acara di radio itu. Ternyata banyak pendengar radio yang menyumbang uang. Uang sejumlah lima juta rupiah hasil sumbangan pendengar radio Delta lalu digunakan Imam untuk membeli tanah untuk mendirikan sekolah. Ia mendatangi bank Mandiri dan mendapat dana Rp 300 juta untuk membangun sekolah. Penduduk di desa itu gotong royong membangun sekolah. Pemilik toko material juga ikut menyumbang bahan-bahan yang dibutuhkan. Imam melibatkan masyarakat setempat untuk membangun desa mereka. Ia juga membangun beberapa sekolah di sekitar desa itu sehingga di kabupaten Purwakarta ada SD, SMP, dan SMA.
Imam mencari guru-guru untuk mengajar di desa. Juga mengupayakan agar mereka bisa diangkat sebagai PNS oleh Kemendikbud. Ia juga mengusahakan agar para guru mendapat pelatihan sehingga bisa sampai jenjang pendidikan D3. Beberapa murid di sana diberi kesempatan kuliah sampai sarjana. Ia mendirikan Rumah Ilmu di mana para mahasiswa yang melakukan penelitian dapat menginap di sana. Murid-murid sekolah, rekan-rekan Imam dari Yayasan Nurani Dunia, para guru yang membuat Yayasan Pena Hijau, para pejabat yang datang meninjau juga dapat berkumpul di sana.
Imam B.Prasodjo di waduk Jatiluhur


Imam juga membangun Rumah Sehat di mana para ibu hamil mendapat penyuluhan tentang gizi, kesehatan, dan melakukan senam kehamilan. Dengan berbagai sponsor dari perusahaan swasta dan bantuan pemerintah ia membuat jalan aspal, waduk air, perpustakaan, mengadakan dua bus desa, membuat kapal yang dapat digunakan untuk berbaring bagi pasien yang akan dibawa ke RS melalui bendungan Jatiluhur, memberi bantuan pakaian dalam bagi para perempuan di desa ini, memberi bantuan susu formula bagi bayi yang tidak mendapat ASI, membuat perkebunan buah naga, kolam ikan, memberi bibit sayuran kepada penduduk agar mereka bisa mandiri di bidang makanan, membuat biogas, bank sampah, mendatangkan ahli gizi dan psikolog, membuat lapangan sepakbola, dan sebagainya. “Setelah ada lapangan bola dan hadiah bola dari pemerintah dan Andy Noya, banyak kesebelasan sepak bola tumbuh di sini,” kata Imam.
Negara kita membutuhkan banyak orang seperti Imam dan Anda yang mencintai Indonesia.


Guru-guru di Rumah Ilmu
Hanya dua bidan yang melayani masyarakat Cisarua dan Pesanggrahan







 1/10/16