Sudah lebih dari tiga puluh tahun saya tidak bertemu Bang Martin Aleida. Usianya kini 81 tahun. Dulu saya sering bertemu dengannya di rumah mertua saya di Pasar Minggu, tidak jauh dari rumah Bang Martin. Pada waktu itu saya tinggal bersama mertua. Bang Martin sudah dianggap anak oleh mertua saya. Setiap sore Bang Martin berolah raga jogging dan sering mampir untuk mengobrol dengan ibu mertua saya. Namun setahun yang lalu Bang Martin ditabrak motor yang membuat kaki kanannya harus diamputasi. Sepasang kaki yang dulu pernah membawanya ke berbagai kota di Ceko, Jerman, Belanda, Belgia, dan lain-lain untuk mencari jejak para eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia, negeri mereka, karena kekejian zaman Orba. Ia mewawancarai para eksil untuk menceritakan bagaimana awal mereka menjadi eksil dan bagaimana kehidupan mereka di negeri orang. Semua hasil wawancara itu ditulisnya menjadi buku Tanah Air yang Hilang.
Kini kehilangan salah satu kakinya sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Tidak mudah berjalan dengan kaki palsu. Memasang kaki kanannya ke paha juga tidak mudah. “Yang mengherankan, saya sering merasa nyeri pada ujung kaki yang hilang. Padahal kakinya sudah tidak ada,” katanya ketika saya dan suami datang ke rumahnya di Pasar Minggu, Jakarta, pada 22 Februari 2025.
Rumah dengan luas lahan 350 meter persegi itu ditempatinya lebih dari empat puluh tahun. Pekarangannya ditanami pohon duren, kopi, belimbing, bunga kemuning, dan lain-lain. Halaman penuh tanaman. “Saya ingin jual rumah ini. Saya ingin pindah ke Semarang, dekat dengan anak saya. Di rumah ini saya hanya berdua dengan istri yang mulai demensia. Ia pernah lupa mematikan kompor,” katanya.
Banyak cerita Bang Martin tentang kenangannya pada waktu ia bekerja sebagai jurnalis majalah Tempo, dipenjara pada zaman Orba, kedua anaknya yang sudah meninggal, dan cerita-cerita lain yang menyenangkan untuk didengarkan. Semoga kami masih bisa bertemu pada kesempatan lain.