Jumat, 07 Oktober 2016

Antara Persepsi dan Realitas Purwakarta

Kabupaten Purwakarta tak jauh dari Jakarta, tapi proses pembangunan tak banyak terasa di desa Cisarua dan Pesanggrahan. Sebelum tahun 2001di desa Cisarua guru hanya satu orang dan kepala Sekolah Dasar hanya satu orang untuk 260 murid dari kelas satu sampai enam. Tukang kebun ikut membantu mengajar. Papan tulis dibelah-belah. Bangunan sekolah hampir ambruk, bocor di sana-sini, dan banjir. Jalan-jalan hanya berupa jalan setapak yang belum di aspal. Tidak ada dokter, bidan pun tidak ada. Rumah sakit tidak ada. Banyak ibu hamil yang keguguran karena jalan dibuat dari pecahan batu. Juga masih ada jalan tanah yang becek dan licin bila hujan. Penduduk harus naik sampan kayu di waduk Jatiluhur untuk pergi ke kota. Banyak anak dilahirkan dalam kondisi tempurung kepala tidak menutup sempurna karena kekurangan gizi. Tidak ada toilet. Jadi ada istilah ‘dolbon’ (modol di kebun). Tidak ada air yang bisa langsung diambil di dekat rumah. Para remaja puteri yang baru masuk usia remaja dinikahkan oleh orangtua mereka tanpa sempat mengenyam pendidikan tinggi. Bila melahirkan, mereka hanya menggunakan jasa paraji (dukun persalinan). Banyak perempuan yang puting dan vaginanya berkoreng karena pakaian dalam hanya diganti tiga hari sekali.

Kebun buah naga di Cisarua

Imam B. Prasodjo datang ke desa Cisarua pada 2001 dan terpanggil untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di sana. Sosiolog dari FISIP UI ini mengajak Iis, satu-satunya guru di desa itu, untuk menceritakan kondisi desanya kepada para pendengar radio Delta. Imam rutin mengisi acara di radio itu. Ternyata banyak pendengar radio yang menyumbang uang. Uang sejumlah lima juta rupiah hasil sumbangan pendengar radio Delta lalu digunakan Imam untuk membeli tanah untuk mendirikan sekolah. Ia mendatangi bank Mandiri dan mendapat dana Rp 300 juta untuk membangun sekolah. Penduduk di desa itu gotong royong membangun sekolah. Pemilik toko material juga ikut menyumbang bahan-bahan yang dibutuhkan. Imam melibatkan masyarakat setempat untuk membangun desa mereka. Ia juga membangun beberapa sekolah di sekitar desa itu sehingga di kabupaten Purwakarta ada SD, SMP, dan SMA.
Imam mencari guru-guru untuk mengajar di desa. Juga mengupayakan agar mereka bisa diangkat sebagai PNS oleh Kemendikbud. Ia juga mengusahakan agar para guru mendapat pelatihan sehingga bisa sampai jenjang pendidikan D3. Beberapa murid di sana diberi kesempatan kuliah sampai sarjana. Ia mendirikan Rumah Ilmu di mana para mahasiswa yang melakukan penelitian dapat menginap di sana. Murid-murid sekolah, rekan-rekan Imam dari Yayasan Nurani Dunia, para guru yang membuat Yayasan Pena Hijau, para pejabat yang datang meninjau juga dapat berkumpul di sana.
Imam B.Prasodjo di waduk Jatiluhur


Imam juga membangun Rumah Sehat di mana para ibu hamil mendapat penyuluhan tentang gizi, kesehatan, dan melakukan senam kehamilan. Dengan berbagai sponsor dari perusahaan swasta dan bantuan pemerintah ia membuat jalan aspal, waduk air, perpustakaan, mengadakan dua bus desa, membuat kapal yang dapat digunakan untuk berbaring bagi pasien yang akan dibawa ke RS melalui bendungan Jatiluhur, memberi bantuan pakaian dalam bagi para perempuan di desa ini, memberi bantuan susu formula bagi bayi yang tidak mendapat ASI, membuat perkebunan buah naga, kolam ikan, memberi bibit sayuran kepada penduduk agar mereka bisa mandiri di bidang makanan, membuat biogas, bank sampah, mendatangkan ahli gizi dan psikolog, membuat lapangan sepakbola, dan sebagainya. “Setelah ada lapangan bola dan hadiah bola dari pemerintah dan Andy Noya, banyak kesebelasan sepak bola tumbuh di sini,” kata Imam.
Negara kita membutuhkan banyak orang seperti Imam dan Anda yang mencintai Indonesia.


Guru-guru di Rumah Ilmu
Hanya dua bidan yang melayani masyarakat Cisarua dan Pesanggrahan







 1/10/16









Tidak ada komentar: