Sabtu, 19 Juni 2021

Menulis ‘Indonesia Menggugat’ di Depan Kaleng Tinja


16 Juni 1930. Suratkabar menyiarkan pidato Gubernur Jendral pada sidang pembukaan Dewan Rakyat. Judulnya: “Soekarno Pasti Dihukum.” Tulisan selanjutnya: “Tidak mungkin membebaskan Soekarno dari tuntutan, kata para pembesar.” Tanggal diadilinya sudah ditetapkan. Hanya tiga minggu sebelum Soekarno bertemu dengan para pembelanya yang dipilihnya sendiri: Ketua PNI Cabang Jawa Tengah Sujudi S.H. yaitu tuan rumah di mana ia ditangkap, rekannya dari Algemeene Studeeclub yang mengurus keuangan partai Sartono S.H., dan satu lagi kawannya: Sastromuljono S.H. Semua tidak dibayar karena Sukarno tak punya uang, bahkan para pengacara itu menanggung pengeluarannya sendiri.

Sel Soekarno di
penjara Banceuy, Bandung

Sartono tampak berpikir keras bagaimana agar Soekarno bebas dari tuntutan hukum. Sartono dan Soekarno tahu bahwa Soekarno tidak akan bisa bebas. Soekarno menempatkan satu tangannya ke pundak Sartono. “Sartono, bukan maksudku membanggakan diri. Tetapi ketika aku masuk bui, beginilah keputusanku. Kalau sudah nasibku menahan siksaan, biarkan saja. Bukankah lebih baik aku menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selamanya?” 

Di dalam penjara Banceuy di Bandung mereka diizinkan bertemu di ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Sartono tinggal di Jakarta. “Aku cepat-cepat datang kemari segera setelah mendengar kabar. Tetapi polisi mempersulit. Untuk beberapa waktu seakan-akan aku sendiri berada dalam bahaya penahanan,” kata Sartono. Soekarno memandangnya dengan air mata berlinang karena berterima kasih.

Di penjara Soekarno tidak disediakan meja untuk bisa menulis dengan nyaman. Ukuran selnya 1,5 x 2,5 meter. Hanya tempat tidur yang ada di dalam selnya dan sebuah kaleng yang dibagi dua: untuk buang air kecil dan buang air besar. Setiap pagi ia harus menyeretnya dari bawah tempat tidur, menjinjingnya ke kakus, lalu membersihkan kaleng itu.

Malam demi malam tak henti-hentinya ia mengangkat kaleng itu ke tempat tidur. Ia duduk bersila, menulis beralaskan tempat tidur, dengan kaleng berbau tidak enak di hadapannya. Soekarno menempatkan beberapa helai kertas untuk alas kaleng itu. Ia mulai menulis. Kertas dan tinta dibawakan dari rumahnya. Dengan cara itu ia tekun menulis pembelaannya dengan judul Indonesia Menggugat yang kemudian menjadi sejarah politik Indonesia.

Sumber: buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

 

 

Tidak ada komentar: