Minggu, 14 November 2021

Stephen Suleeman

8 November 2011. Stephen Suleeman, temanku yang baik hati, pergi untuk selamanya. Tak pernah kembali, tak pernah berkabar lagi, tak pernah bisa kusapa dan menyapaku lagi. Ia meninggal pada usia 67 tahun setelah kesehatannya menurun setahun terakhir hidupnya. Ginjalnya tak berfungsi dengan baik.

Steve adalah kakak kelasku di FISIP UI. Ia angkatan 1979 sementara aku angkatan 1980.  Meski berbeda angkatan namun ada beberapa mata kuliah yang kami ikuti bersama, karena perkuliahan bersistem kredit memungkinkan untuk itu. Para dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI sering memberikan tugas menulis makalah kepada kami. Para mahasiswa di dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa group oleh dosen. Setiap group menulis satu makalah dengan topik yang berkaitan dengan mata kuliah yag diajarkan oleh dosen. Saya beberapa kali dalam satu group dengan Steve. Leadership-nya, usianya, pengetahuannya yang luas, dan angkatannya yang lebih senior, membuat Steve selalu menjadi ketua kelompok. Ia bisa memberi masukan-masukan yang berbobot bagi makalah yang akan kami tulis. Setiap diskusi ia selalu mau mendengarkan pendapat orang lain. Di dalam diskusi-diskusi itu Steve halus dalam memilih kata, namun tetap tegas. Ia juga humoris. Tapi ia sangat serius menulis skripsinya. Saya mendengarkan bagaimana ia menjawab semua pertanyaan dari dosen penguji skripsi dengan cerdas. Ia mendapatkan nilai terbaik dari semua skripsi yang pernah diuji di fakultas itu.

Setelah kami lulus dari FISIP UI, bertahun-tahun aku tak pernah mendengar kabarnya. Belakangan kutahu bahwa Steve menjadi pendeta sejak muda dan aktif di kegiatan lintas agama antarnegara. Kami bertemu kembali di dunia maya, di media sosial Facebook. Jempol dan komennya sering hadir di postingan-postinganku. Sebaliknya aku juga memberikan jempol dan komen di postingan-postingannya. Komen-komennya sering lucu, kami saling becanda dan akrab di dunia maya, meski tak pernah bertemu di dunia nyata.  Facebook membuat ia lebih akrab denganku daripada dengan suamiku padahal ia adalah teman seangkatan suamiku di FISIP UI. Teguh Poeradisastra memang tidak aktif membaca Facebook.


Pada suatu hari pada 2018 Stephen memberitahuku bahwa ia menjadi salah satu kontributor dalam buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. “Ada tulisan saya di buku itu. Apakah kamu tertarik untuk membacanya?” tulisnya melalui Messenger. Tentu aku mau membeli dan membaca buku itu. Bukan saja karena Steve yang menjadi salah satu penulisnya, melainkan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa menarik perhatianku. Apalagi ayah mertuaku gigih memperjuangkan agar etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu etnis dari ratusan etnis yang ada di negara kita. Prof. Saleh Iskandar Poeradisastra, ayah mertuaku, memiliki banyak sahabat yang berasal dari etnis Tionghoa. Meski berbeda warna kulit, suku, dan agama, persahabatan mereka sangat dipenuhi kasih sayang sebagai sesama manusia. Kakak iparku, Slamet Poeradisastra, menikah dengan perempuan Tionghoa tidak menjadi masalah di dalam keluarga kami. Meski ayah mertuaku sudah meninggal, para sahabat beliau tetap penuh perhatian dan menjalin hubungan dengan kami.

Menyedihkan menjadi Tionghoa di Indonesia. Ketika buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia yang dikirim oleh Steve sampai di tanganku, aku langsung membacanya. Yang pertama kubaca adalah Kata Pengantar yang ditulis oleh Anita Wahid, putri Presiden Abdurahman Wahid. Tulisan Anita Wahid menganjurkan agar manusia jangan menghakimi orang lain berdasarkan suku, agama, pendidikan, dan negara. Sebab semua suku, semua agama, semua tingkat pendidikan, dan semua negara masing-masing memiliki orang baik dan orang jahat. Aku sependapat dengan Anita Wahid. Tulisannya kemudian aku tik dan kuposting di Facebook. Ternyata tulisan itu viral, banyak di-share di Facebook dan di What’s App Groups. Itu membuktikan bahwa masih banyak orang yang ingin rasisme dikikis habis.

Aku kemudian membaca halaman 14 buku itu yang memuat tulisan Stephen Suleeman. Judulnya Apa Arti Sebuah Nama? Tulisan yang menyentuh. Meski sastrawan William Shakespeare  dalam drama Romeo and Juliet menyebutkan "A rose by any other name would smell as sweet", tidak sederhana dan semanis itu soal nama bagi Tionghoa di Indonesia. Nama asli Stephen adalah Lee Heng Ek, namun politik Orde Lama membuatnya harus berganti nama menjadi Stephen. “Asingnya nama saya sering menimbulkan kesulitan ketika saya menelepon seseorang dan harus menjelaskan nama saya. Saya perlu berulang-ulang menyebutkan nama saya, meski pihak di seberang sana tetap tidak bisa menangkapnya dengan jelas. Hal ini mendorong saya untuk mencarikan nama-nama yang mudah disebutkan oleh lidah Indonesia ketika anak-anak saya lahir,” tulis Stephen dalam buku itu. Kedua anaknya dari perkawinannya dengan Dini Kusnadi diberinya nama Hortensia Margarita Esperanza dan Lavender Serena Constanza. Steve dan Dini menikah pada Senin, 8 Agustus 1988, dua hari setelah pernikahanku dengan Teguh Poeradisastra.



Pada akhir 2020 aku meminta Steve untuk menulis tentang pengalaman pribadinya dalam toleransi beragama. Keesokan harinya ia sudah mengirimkan tulisannya sekitar 12 halaman dengan isi yang berbobot, tata bahasa yang baik, dan enak dibaca. Buku antologi berjudul Berbeda Jalan, Satu Tujuan terbit pada Februari 2021. Ia sangat mendukungku untuk penerbitan buku itu. Kini ia telah tiada. Seorang sahabat telah pergi. Damailah di surga, Steve. Semoga kita bisa berjumpa lagi di sana. Amin.

Tidak ada komentar: