Senin, 02 Januari 2023

Penyair yang Dilenyapkan

Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah tetapi menangis ketika aku susah
Ibu tak bisa memejamkan mata bila adikku tak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami
Ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang dan ketabahan
Ibuku mengubah rasa sayur murah jadi sedap
Ibu menangis ketika aku mendapat susah
Ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
Ibu menangis ketika adikku keluar penjara
Ibu adalah hati yang rela menerima selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun kasih sayang
Ibu adalah kilau sinar kegaiban Tuhan membangkitkan haru insan dengan kebajikan
Ibu mengenalkan aku kepada Tuhan
(Solo, 1986)

Puisi ‘Ibu’ di atas adalah karya penyair Widji Thukul. Ia dilenyapkan pada 1998 dan jazadnya tak ditemukan sampai kini. Ia lahir di Surakarta pada 26 Agustus 1963, menjadi aktivis yang menolak penguasa Orde Baru di bawah Presiden Suharto. “Hanya satu kata, lawan.” Itu adalah satu baris puisinya yang sangat terkenal dan menjadi jargon para demonstran menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Ia menerima Wertheim Encourage Award dari pemerintah Belanda pada 1991 dan pernah berkeliling di Amerika membacakan puisi. Widji Thukul mendapatkan Yap Thiam Hien Award pada 2002 yang tak bisa diterima dengan tangannya, sebab tak ada yang tahu di mana ia berada apakah ia masih hidup atau sudah tiada. Puisi-puisinya diterbitkan meda massa dalam dan luar negeri. Karya-karyanya: Puisi Pelo, Darma dan Lain-lain (antologi puisi), Kicau Kepodang (1993), Thukul Pulanglah (diterbitkan pada 2000), Aku Ingin Jadi Peluru (diterbitkan pada 2000).
Meski ia sudah dihabisi dengan kejam oleh rezim Suharto, namun kata-katanya tak pernah bisa dibinasakan. Ini adalah salah satu puisi karyanya pada 1997.
AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

Tidak ada komentar: