Rabu, 28 Agustus 2019

Diskriminasi Hukum pada Zaman Kolonial Belanda


Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia menggambarkan ketidakadilan hukum bagi pribumi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum proklamasi kemerdekaan Balai Pustaka menerbitkan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang juga menggambarkan ketidakadilan hukum bagi pribumi. Salah Asuhan berisi kritik sosial tentang hambatan terhadap perkawinan pria pribumi Hanafi dan Corrie, gadis peranakan Eropa. Corrie du Bussée adalah gadis dari ayah Prancis dan ibu Minangkabau dari luar perkawinan, tapi disahkan sebagai anak menurut Undang-undang. Menurut hukum, Corrie berstatus golongan penduduk Eropa.

Orang-orang peranakan Eropa dihina oleh golongan totok seakan-akan sebagai manusia lebih rendah derajatnya. Mereka dijuluki landa godong tela (Belanda daun singkong), landa kopi tubruk, dan lain-lain. Kaum totok tak mempedulikan mereka. Tapi kalau ada pria pribumi berani menikah dengan nonnie Belanda, maka pria itu mesti diberi sanksi sosial! Seorang nonnie yang menikah dengan pria inlander (pribumi) akan dibenci golongan Eropa totok.

Menurut Indische Staatsregeling (semacam UUD kolonial Hindia Belanda) kaum bumiputra lebih rendah hak dan kedudukannya menurut hukum. Kalau seorang bumiputera bersalah ia diadili oleh pengadilan yang lebih rendah (landraad bukan raad van djustitie) serta kurang haknya untuk membela diri dan mendapatkan keadilan. Kalau ia bekerja, gajinya kurang. Pada zaman kolonial seorang kerani (klerk) yang bekerja berat gajinya antara f15,- sampai f35,- sebulan, sedangkan tunjangan yang diterima seorang penganggur Eropa adalah f45,- sebulan.

Di bidang hukum seorang pribumi dapat dibuang ke Digul, meskipun menurut pemeriksaan di depan hakim ia tak bersalah. Sebagai pegawai negeri tingkat universitas seorang pribumi tak dapat memulai jabatannya di kota-kota besar, melainkan di daerah-daerah terpencil. Seorang pria bumiputera yang mengawini perempuan berstatus Eropa berarti ia akan kehilangan hak-hak atas tanah. Karena ia menganggap status kebumiputeraannya merupakan hambatan bagi perkawinannya dengan Corrie, Hanafi menulis surat permohonan kepada Gubernur Jenderal di atas kertas bermeterai f1,50,- (tun poa, menurut bahasa Tionghoa) untuk disamakan haknya menurut hukum Eropa. Permohonan itu dikabulkan Gubernur Jenderal. Jadilah ia seorang staatsblad European (orang Eropa menurut Lembaran Negara kolonial) atau ‘Belanda tun poa’! Seorang Belanda tun poa yang mengawini seorang nonnie akan selalu diawasi oleh golongan Eropa kolonial yang secara sosial tak dapat menerimanya sampai mati! Maka Hanafi dikucilkan dan istrinya yang berstatus Eropa dikucilkan. Begitulah nasib yang menimpa Meneer Han (nama baru Hanafi setelah peng-Eropa-annya) dan Corrie Han-du Bussée dalam roman Salah Asuhan. Roman ini pernah difilmkan oleh sutradara Asrul Sani pada 1970an.

Sumber: Roman sebagai Jenis Tipikal Sastra Indonesia Modern karya Prof. S.I. Poeradisastra

Tidak ada komentar: