Rabu, 27 November 2019

Gubernur Ali Sadikin dan Para Seniman




Gubernur Ali Sadikin menceritakan sejarah TIM dan DKJ dalam biografinya yang ditulis oleh  Ramadhan K.H:

Pada suatu pagi datang Ilen Surianegara.  Istrinya, Tating, kenalan baik istri saya. Ilen datang bersama dua seniman lainnya, Ajip Rosidi dan Ramadhan K.H. yang baru saya kenal. Mereka membawa gulungan kertas. Ternyata kertas itu mencantumkan satu bagan mengenai apa yang dicita-citakan oleh para seniman. Kata mereka, itu konsep dari pelukis Oesman Effendi. Saya bertanya ke mana seniman-seniman yang dulu suka berkumpul di Senen.
“Mereka sudah tidak berkumpul lagi,” jawab Ajip. Padahal kesempatan berkumpul itu mereka butuhkan. Tapi bagaimana? Di mana?

Kami lalu membicarakan mengenai kebutuhan untuk menghidupkan kesenian di tengah kesibukan ibu kota yang mulai gemuruh dengan pembangunan, industri, perdagangan, pariwisata. Saya bisa memahami kebutuhan seniman. Di luar negeri pun kesenian diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang. Tidak baik sebuah kota jika hanya diliputi kesibukan kehidupan industri, perdagangan, dan jasa. Kehidupan kota akan gersang  jika rohani tidak dikembangkan. Kesenian mesti hidup, tumbuh, dan berkembang.

Saya mengajak para seniman Jakarta untuk berkumpul dan berbicara. Terserah para seniman untuk membentuk satu lembaga jika memang mereka menginginkannya. Saya cuma akan memberi jalan kepada mereka. Artinya, Gubernur akan memberikan fasilitas, akan memberikan bantuan biaya. Tapi Gubernur tidak akan ikut campur dalam masalah keseniannya. Soal artistik, biarlah seniman membereskan dan menilainya sendiri. Pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan. Biarlah para seniman itu bebas. Biar mereka merdeka mencipta. Biar mereka berkembang dengan segala khayal dan angan-angannya.

Para seniman kemudian membentuk formatur, antara lain Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, Zulharmans, untuk menyusun Dewan Kesenian Jakarta. Pada 7 Juni 1968 saya melantik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terdiri atas 25 orang. Ketuanya Trisno Sumardjo.  Para seniman sendiri yang memilih para anggota DKJ. Saya tidak ikut campur.  Saya tantang para seniman itu. Saya cambuk mereka. Saya dorong mereka untuk mengisi kebebasan mereka. Sampai akhir jabatan saya, saya konsekuen, pemerintah tidak ikut campur soal konsep kesenian. Pemerintah hanya menyediakan dana. Di luar itu para seniman sendiri yang harus mengatur dan mengisi kegiatan kesenian itu. Saya suka berdebat dengan seniman, seperti dengan Wahyu Sihombing atau Ajip Rosidi, tapi saya tak pernah memaksakan kehendak saya.

Menurut saya, tidak semua kegiatan mesti menghasilkan uang melainkan ada juga kegiatan atau lembaga yang memang  tidak akan bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina dan diberi dana. Prinsipnya, pihak yang bisa menghasilkan uang agar membina lembaga atau kegiatan yang tidak bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina. Di dalam kehidupan masyarakat tidak semua sektor harus bisa menghasilkan uang. Ada sektor-sektor yang tidak bisa menghasilkan uang tapi penting untuk dibina, karena nyata merupakan kebutuhan dalam masyarakat. Seni perlu dibangun untuk memajukan bangsa. Kemajuan bangsa tidak cukup hanya dengan segi fisiknya, melainkan juga cukup dengan segi rohaniahnya, termasuk seni.

Saya kemudian membangun Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian dinamakan Taman Ismail Marzuki untuk penghargaan kepada almarhum Ismail Marzuki, putra Betawi, komponis, dan pejuang kemerdekaan. Tempatnya di areal seluas delapan hektare bekas kebun binatang di Jl. Cikini Raya, Jakarta. Kendaraan umum dari berbagai arah banyak lewat di sana. Itu sebabnya saya pilih tempat itu agar bisa dicapai dan memudahkan banyak orang. Saya ingin menghidupkan TIM dengan DKJ-nya dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini menjadi IKJ).  

Pada waktu saya mendirikan bangunan-bangunan untuk pameran dan pertunjukan di TIM itu, sudah ada bangunan Planetarium sejak 1966. Planetarium terbengkalai karena Pemerintah Pusat tidak ada dana untuk melanjutkan pembangunannya. Saya lanjutkan pembangunan Planetarium.

TIM diresmikan pada 10 November 1968 dengan pertunjukan kesenian yang dinamakan Pesta Seni Jakarta. Pesta kesenian berlangsung tujuh hari, diisi dengan acara drama, gending karesmen Sunda, pameran dokumentasi kesusastraan Indonesia, pameran lukisan anak-anak, konser dengan solis Irawati Sudiarso dan Rudy Laban oleh Orkes Simfoni Jakarta di bawah pimpinan Adidharma. Ada tari balet, ada pantomim dari Jerman, ada diskusi soal bahasa Indonesia, ada lenong Nyai Dasima, dan tarian Tapanuli.

Sumber: buku biografi Bang Ali Demi Jakarta 1966 – 1977 oleh Ramadhan KH





Tidak ada komentar: