Senin, 04 Maret 2024

Pertanian Kita pada Zaman Jepang

Indonesia mampu swasembada beras pada 1984. Namun semakin banyak penduduk di negara kita maka banyak persawahan berubah menjadi perumahan. Produksi beras tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk.  

Pada zaman Jepang para petani diperintahkan untuk meningkatkan hasil pertanian. Atas permintaan penjajah Jepang, banyak kiai yang berkeliling di pedesaan untuk mendorong petani agar rajin bekerja. Kiai mengutip ayat-ayat Alquran yang merujuk pada pentingnya arti produksi. Kiai Muhammad Sjakir dari Surakarta ingat ketika ia dikunjungi seorang agen Badan Intelijen Tentara Jepang. Kiai itu diminta bekerja sama dalam program peningkatan produksi pertanian. Permintaan Jepang itu membuat Kiai berkeliling ke desa-desa di sekitarnya dan berkhotbah bahwa “Allah mengajarkan agar setiap orang berusaha sendiri. Jangan malas.“

Alat propaganda lain yang digunakan untuk meningkatkan produksi pertanian adalah film, teater, kamishibai (pertunjukan cerita bergambar), dan pidato. Sepuluh orang dari kantor Keresidenan Besuki  dikirim untuk pergi ke pedesaan. Mereka mempertunjukkan kamishibai dengan cerita tentang peningkatan produksi pertanian. Bukan hanya itu. Merk rokok Darvos pada zaman penjajahan Belanda diganti menjadi merk Mizuho. Dalam bahasa sastra Jepang Mizuho artinya padi. Penggantian nama ini berlaku sejak 1 Maret 1943. Rokok itu dijual dengan kemasan baru bergambar padi.

Pada zaman itu dilakukan propaganda bahwa petani sangat penting artinya dalam masyarakat. Petani diberi status tinggi di dalam kelas sosial. Secara teoritis petani menikmati kedudukan yang lebih tingi daripada pedagang dan pengrajin, sekalipun tingkat ekonomi mereka sesungguhnya rendah. 

Dalam menekankan ‘kesucian’ pertanian, para pejabat pemerintahan militer memerintahkan para pejabat tinggi seperti bupati dan wedana agar turun ke sawah bertelanjang kaki, ikut serta dalam pekerjaan pertanian di depan para petani. Para anggota fujinkai (persatuan wanita) di kota-kota yang terdiri atas kaum istri pejabat pemerintahan juga diperintahkan pergi ke desa-desa dan bergabung dengan petani. Meskipun itu mungkin hanya keikutsertaan secara simbolis, dan mereka tidak sunguh-sungguh bertani, pasti berdampak secara psikologis pada para petani.

Sumber:  buku ‘Kuasa Jepang di Jawa, Perubahan Sosial di Pedesaan 1942 – 1945’ karya Aiko Kurasawa.

Tidak ada komentar: