Selasa, 05 April 2016

Kisah Cinta Presiden Soekarno dan Hartini



Setelah menikah dengan Hartini, Soekarno menikah lagi dengan lima perempuan.
Presiden Soekarno menikah dengan Hartini ketika usia beliau 53 tahun dan istri ke-empatnya itu 28 tahun. Hartini yang mendampingi Bung Karno pada hari-hari terakhir proklamator kemerdekaan RI itu. Rahasia kisah cinta Presiden Soekarno diungkapkan Hartini dalam buku Last Days of Soekarno karya Ross T.Nugroho:
Istana Cipanas

Saya dijemput orang kepercayaan Bung Karno dengan mobil di Salatiga kemudian ke Semarang. Dari sana kami berdua naik pesawat Garuda menuju Jakarta. Dari bandara Kemayoran dengan mobil kami menuju istana Cipanas lewat Bogor. Kami tiba di kawasan istana Cipanas di kala surya senja mulai menyelimuti lingkungan yang asri dan teduh itu. Dedaunan dan dahan pepohonan seakan-akan melambai-lambai ramah menyambut saya. Suasana sangat hening. Selain desiran angin sore yang terdengar kini hanyalah debaran jantung saya. Ketika turun dari mobil yang terdengar hanya bunyi langkah kaki dan gesekan kain batik saya.
Sore itu muncul sosok yang sangat dicintai rakyat senusantara. Saya disambut Bung Karno di halaman belakang istana Cipanas. Dengan senyum hangatnya yang menawan beliau menyalami saya yang mengenakan kebaya hitam kembang-kembang. Sambil tetap memegang tangan saya, beliau berucap: “Do you always have a cold hand?” Saya tak mampu berkata-kata, kecuali tersenyum. Saya begitu gugup. Setiap gerakan saya seakan-akan diawasinya dengan sangat cermat.

Saya tak tahu berapa orang yang tinggal di istana. Yang jelas, mereka hanya muncul bila diperlukan. Itu pun hanya petugas tertentu. Sahabat Bung Karno yang tadi mengantarkan saya tanpa terasa tiba-tiba menghilang entah ke mana. Di halaman belakang istana Cipanas dengan diselimuti udara sejuk yang dibungkus temaram rembang petang, saya diliputi perasaan tak percaya. Saya kini duduk berdua dengan orang nomor satu di Indonesia: Presiden Soekarno...

Dua tahun kemudian...

Pada waktu itu saya sudah rutin sekali sebulan datang ke Cipanas. Sahabat Bung Karno mendampingi saya ke istana hanya sampai lima kali pertemuan. Pada suatu senja, ketika sedang bercengkerama dengan Bung Karno, tiba-tiba kedua tangan saya dipegang erat. Derai tawa saya mendadak terhenti ketika melihat wajahnya yang menjadi serius, menatap saya dalam-dalam. Terdengar suara beratnya: “Kan niet zo door gaan, Tin. Tidak bisa keadaan ini dibiarkan berjalan seperti ini.”  Beliau tak mau berzinah, merasa bertanggungjawab untuk segera menikahi saya. “Ik ga jou trouwen, Tin,” katanya. Mendengar lamaran itu saya bagaikan terbangun dari mimpi. Sejenak saya tak dapat berkata apa pun. “Bapak kan sudah punya istri. Tempat saya bagaimana? Ibu Fat bagaimana? Rakyat bagaimana?” (Ibu Fatmawati adalah istri Bung Karno ketika itu).

Tiba-tiba tangan saya kembali dingin. Tubuh saya bergetar. Walaupun ada rasa bahagia, tetapi sepertinya dikalahkan oleh rasa takut. Masih menggenggam kedua tangan saya, ia menatap wajah saya yang masih bingung. “Saya sudah pikirkan semua itu, Tin,” katanya. Saya tertunduk dengan perasaan tak menentu, tak pernah mengira begitu besar kesungguhannya kepada saya. “Ibu Fat tetap The First Lady dan kau adalah istri saya yang sah. Jij bent mijn wettige vrouw. Tempatmu di istana Bogor, Ibu Fat di istana Negara. Soal pembagian waktu akan saya atur. Jumat sore sampai Senin pagi, saya di Bogor bersamamu, Tin.” Kini saya sadar bahwa keinginan beliau bukanlah keputusan yang tergesa-gesa. Beliau selalu memikirkan sesuatu dengan baik sebelum mengambil keputusan. 

Tapi apa yang disampaikannya masih belum cukup bagi saya. Dengan cemas dan ingin menangis, saya katakan: “Bapak kan Presiden. Bagaimana dengan kelima anak saya? Bagaimana saya harus menghadapinya? Saya harus bilang apa?” Beliau langsung memeluk saya. Lalu menatap saya dengan lembut. “Bawalah mereka kemari. I will love them as my children.” Secara refleks saya mencium tangannya berulang-ulang. Tapi perasaan saya masih tak menentu. Saya minta waktu untuk berpikir lagi.

Ternyata orangtua saya tak setuju. Mereka berkali-kali menasehati. “Nduk, dimadu itu berat, meski dengan raja sekali pun. Apakah kau kuat? Dan terlebih lagi, berarti kau mengambil suami orang. Hukum karma itu berlaku, nduk. Ingat, siapa yang mengambil akan diambil pula. Pikirkan secara matang dulu. Namun semua terserah padamu, karena kau yang akan menjalankannya.” 

Ketika saya kembali ke Cipanas, Bung Karno terus mendesak. Sekali lagi saya ke Ponorogo untuk minta izin dan doa restu dari orangtua. “Orangtua hanya bisa memberi doa restu, tetapi tanggung jawab ada padamu,” kata mereka.

7 Juli 1954 pada pagi yang cerah saya menikah dengan Ir. Soekarno di istana Cipanas dengan penghulu dari Cipanas. Yang hadir antara lain Kepala Rumah Tangga Istana Pak Mangil Martowidjojo, Haji Osman dan istrinya, juga staf sekaligus sahabat Bung Karno yang selama ini menjadi penghubung kami. Pada upacara akad nikah itu Bung Karno mengenakan uniform coklat muda, sementara saya berkebaya brokat hijau. Cincin emas kami berbentuk polos. Pada kemudian hari saya menyadari bahwa beliau tak pernah mengenakan cincin kawin...


Tidak ada komentar: