Minggu, 29 Mei 2016

Candi Borobudur

Candi Borobudur dibangun dinasti raja-raja Sailendra pada abad VIII M. Candi ini memiliki sepuluh tingkat yang menggambarkan filsafat mazhab Mahayana. Enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar, dan sebuah stupa utama di puncaknya. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Tingkatan pada candi Borobudur melambangkan filosofi ajaran Budha:
1. Kamadhatu (ranah hawa nafsu), yaitu dunia yang masih dikuasai hawa nafsu. Bagian ini diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Disini terdapat 160 relief cerita Karmawibhangga namun saat ini tersembunyi karena tertutup struktur.
2. Rupadhatu (ranah berwujud), yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Bagian ini terdiri dari empat lorong dengan 1300 gambar relief dengan panjang seluruhnya 2,5 km.
3. Arupadhatu (ranah tak berwujud), yaitu dimana manusia sudah terbebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Denah lantai berbentuk lingkaran. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan.
Tingkatan tertinggi candi ini dilambangkan dengan stupa yang terbesar dan tertinggi, stupa polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan arca Buddha belum selesai (unfinished Buddha).
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang sebagai jalan sempit dibatasi dinding yang mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah yang setiap purnama, pada Mei atau Juni, menjadi pusat peringatan Waisak bagi umat Budha.
Relief-relief yang terpahat di setiap tingkatan ini dibaca sesuai arah jarum (mapradaksina). Dalam bahasa Sansekerta ‘daksina’ berarti ‘timur’. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, bergerak searah jarum jam, dimulai dari sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang di bagian timur.
Jumlah relief candi total 1.460 pigura, secara berurutan menceritakan makna filosofi:
1. Karmawibhangga, sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, menggambarkan hukum karma. Ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir. Oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
2. Lalitawista, menggambarkan riwayat Sang Buddha. Dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa, di dekat kota Banaras. Relief itu menggambarkan lahirnya Sang Buddha sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma. Ajaran Sang Buddha disebut dharma, artinya ‘hukum’, dilambangkan sebagai roda.
3. Jataka dan Awadana. Jataka menceritakan tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya tentang perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka tetapi bukan Sang Bodhisattwa.
4. Gandawyuha, deretan relief di dinding lorong ke-dua, adalah cerita tentang pengembaraan Sudhana dalam mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati.

Tidak ada komentar: