Rabu, 30 November 2016

Membalas Kejahatan dengan Kebaikan



“Tahun 1964 – 1966, dua tahun empat bulan lamanya Ayah ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Ayah dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11 yaitu merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Tidak hanya itu, karangan-karangan Ayah pun dilarang terbit dan beredar,” tulis Irfan Hamka dalam buku ‘Ayah’. Presiden Soekarno memisahkan ulama itu dari anak, istri, dan cucu-cucunya. Meski demikian Buya Hamka memaafkan dan mengimami shalat jenazah Soekarno. Ia mengenang  Soekarno seperti ini: 

Bung Karno adalah orang besar! Itu sudah pasti! Sebagai seorang manusia besar, jelaslah siapa Bung Karno. Jelas dalam kebaikannya, jelas dalam keburukannya. Jelas dalam tindakannya yang benar, jelas dalam tindakannya yang salah. Jelas dalam jasa, jelas dalam dosa. 

Orang besar dimuliakan setinggi langit atau dihinakan ke kerak bumi. Apabila salah satu tonggak kemuliaan runtuh, maka runtuhlah kebesaran. Tetapi pada hari kematian, jelaslah kebesaran itu. Sejak masa muda remaja, pada usia 18, Bung Karno telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya, HOS Tjokroaminoto. Seluruh kasih sayangnya, sejak muda sampai  tua, telah dikorbankannya untuk membina bangsa Indonesia. Bung Karno telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan kita. 

Bung Karno mendirikan  PNI pada 1927, ditangkap pada Desember 1929 lalu dimasukkan ke penjara Banceuy dan Sukamiskin di Bandung. Pada usia 29 tahun Bung Karno telah berhadapan dengan hakim kolonial karena dituduh hendak memberontak. Bung Karno lalu ditahan empat tahun tetapi dipotong menjadi dua tahun. Karena masih dipandang berbahaya, Bung Karno lalu diasingkan ke Ende, Flores. Menderita Bung Karno di sana selama empat tahun.

Masih dipandang berbahaya, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, akhirnya ke Padang kemudian ke Bangka Belitung. Menderita Bung Karno di sana empat tahun. Artinya, lebih dari sepuluh tahun Bung Karno dipisahkan dari bangsa yang amat dicintainya. Penjajah menyangka, dengan memisahkan itu hilanglah Bung Karno dari hati orang! Tidak! Makin Bung Karno dijauhkan, Bung Karno tambah dekat di hati. Bung Karno tidak henti-hentinya menggembleng bangsanya. 

Dua puluh dua tahun lamanya Bung Karno memegang kendali negara ini. Banyak karang dan batu. Banyak topan dan badai. Mulanya selamat dilaluinya. Kita selalu menyaksikan kekuatannya, di samping kelemahannya sebagai insan. Meski saya bukan politisi, saya sahabat lama Bung Karno. Saya mengagumi Bung Karno karena kepemimpinannya. Bung Karno mengagumi saya karena pendirian agama saya. Karena perbedaan faham, saya terpaksa menjauh. 


Pada Minggu pagi 21 Juni 1970 Oei Tjing Hien, sahabat saya dan Bung Karno,  mengabarkan bahwa Bung Karno meninggal.  Saya menitikkan air mata dan lupa bahwa hampir sepuluh tahun saya menjadi orang yang paling dibencinya. Mengapa hilang dari ingatan saya bahwa saya pernah ditahannya, dipisahkan dari istri, anak-anak, dan cucu-cucu dengan tuduhan palsu, yakni tuduhan hendak membunuh Bung Karno!
Saya terkenang masa-masa lalu, semasa persahabatan belum dikeruhi politik. Saya terkenang pada April 1944 ketika saya hendak kembali ke Medan, meninggalkan Ayah di Jakarta. Terharu melihat beliau tertatih-tatih mengantar saya ke stasiun Tanah Abang bersama Bung Karno. 

“Ini ayah kita, Bung. Bung pengganti saya,” pesan saya kepada Bung Karno.

“Jangan khawatir, berangkatlah,” jawabnya. 

Setelah mendapat kabar Bung Karno meninggal, saya spontan berkata: “Saudara Oei, saya ingin ikut menyembahyangkan. Ingatkah ketika kita bertemu bertiga di Bengkulu pada 1941? Kita berfoto bertiga untuk kenang-kenangan. Dan bertahun setelah itu, sampai politiknya berubah, hubungan kita tetap mesra dengan Bung Karno.” 

Tiba-tiba datang surat resmi dari Sekretariat Negara yang menetapkan Prof. Dr. Buya HAMKA sebagai imam shalat jenazah Bung Karno. Suatu keajaiban Allah!  Memang Bung Karno pernah berpesan kepada kepada keluarganya: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku.” Buya memenuhi amanat itu tanpa berpikir panjang bahwa ia pernah dipenjara Presiden Soekarno.

Setelah shalat jenazah, Buya berbisik di telinga almarhum: “Aku telah doakan supaya Allah mengampuni dosamu. Aku percaya pada janji Allah, walaupun timbunan dosa sampai ke langit, asal memohon ampun dengan tulus, akan diampuniNya. Juga dosamu kepadaku telah kumaafkan.” 

Tidak ada komentar: