Minggu, 22 April 2018

Nyi Ageng Serang



Nyi Ageng Serang berasal dari Jawa Tengah, bukan dari Jawa Barat. Jauh sebelum RA Kartini lahir pada 21 April 1879,  telah lahir Raden Ayu Serang yang lebih dikenal sebagai Nyi (Nyai) Ageng Serang pada 1762 di Serang, 40 kilometer di utara Surakarta, dekat Purwodadi, di tepi sungai Serang. 

Wilayah Serang diberikan oleh kerajaan Pajang kepada Sunan Kalijogo dan keturunannya pada abad ke-16. Mereka berhak memakai gelar Raden atau Pangeran. Meski banyak yang bergelar bangsawan tetapi mereka bekerja sebagai petani biasa. 

Nyi Ageng Serang adalah anak Pangeran Ronggo, keturunan Wali Songo.  Pada 1778 sewaktu Nyi Ageng Serang masih berusia 16 tahun ia bersama keluarga Pangeran Ronggo pergi ke keraton Yogyakarta. Putra Mahkota yang kelak menjadi Hamengku Buwono II jatuh hati kepada Nyi Ageng Serang. Perkawinan mereka tidak berlangsung lama. Pada 1787 mereka berpisah. Nyi Ageng Serang menikah lagi dengan pria yang jauh lebih tua, Pangeran Serang I, yang masih kerabat  keluarga Sunan Kalijogo.

Nyi Ageng serang dan putranya, Pangeran Serang II, memimpin 500 pasukan di kawasan Serang –Demak melawan Belanda pada Perang Jawa (Perang Diponegoro). Nyi Ageng Serang dan putranya serta cucunya, Raden Mas Papak, menyerah kepada Belanda pada 21 Juni 1827.  Raden Mas Papak banyak dipakai Belanda untuk membujuk para komandan pasukan Diponegoro untuk berdamai dengan Belanda. 

Setelah Perang Jawa berakhir pada 28 Maret 1830 Nyi Ageng Serang memiliki pengaruh penting pada perubahan daerah asalnya di Serang-Demak. Ia dikenal sebagai pejuang dan mashur sebagai anggota keluarga Sunan Kalijogo yang dimuliakan. Pada April 1830 Nyi Ageng Serang kembali ke Keraton Yogyakarta kemudian pada pertengahan 1830 ia ikut Raden Mas Papak pindah ke Ungaran.
Keluarga Sunan Kalijogo dianggap sakti. Sosok Sang Wali sangat dimuliakan di Jawa Tengah selatan. Sunan Kalijogo menjadi penasehat para raja dan pelindung kerohanian bagi Mataram. Setelah wafat ia masih sering hadir lewat penampakan kepada anggota keluarga kerajaan dan rakyat biasa. Para raja Jawa menganggap makam Sang Wali di Kadilangu dan masjid Agung Demak sebagai dua pusaka Jawa terpenting penyelamat keutuhan pulau. Berziarah lima kali ke Demak dianggap setara dengan satu kali naik haji ke Mekah.

Nyi Ageng Serang meninggal pada  10 Agustus 1855 dalam usia 93 tahun. Ia hidup lebih lama daripada anaknya, Pangeran Serang II, dan cucunya, Raden Mas Papak, dan kerabatnya, Pangeran Diponegoro. Ketika perempuan perkasa itu wafat penguasa Belanda di Yogyakarta menjadi lega. Ia diawasi ketat oleh penjajah Belanda selama dua dasa warsa terakhir kehidupannya. Perempuan perkasa ini dimakamkan di Kulonprogo, Jawa Tengah. Di Wates, ibu kota kabupaten Kulonprogo, didirikan patung Nyi Ageng Serang menunggang kuda.

Sumber: buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII – XIX karya Peter Carey dan Vincent Houben

Tidak ada komentar: