Minggu, 03 Februari 2019

Peter Carey

Ratih Poeradisastra dan Peter Carey

Peter Carey adalah sejarawan asal Inggris yang telah lebih dari tiga puluh tahun meneliti mengenai Perang Diponegoro atau dikenal dengan nama Perang Jawa. Ia menulis biografi Sang Pangeran  berjudul ‘Takdir. Riwayat Pangeran Diponegoro’.  Ia penah mengajar di universitas Oxford dan kini mengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI.


Saya pertama kali berkenalan dengan Peter Carey di kantor penerbit Kompas Gramedia ketika saya mengurus penerbitan biografi Soetaryo Sigit yang baru selesai saya tulis.  Beberapa hari setelah  pertemuan itu ia mengirim buku-buku karyanya ke rumah saya. Saya bertemu beliau lagi di Galeri Cemara, Jakarta, ketika saya mendengarkan ceramahnya mengenai ‘Korupsi di Indonesia Sejak Zaman Kolonial sampai Reformasi’. Pertemuan berikutnya terjadi pada acara pembukaan Museum Multatuli di Rangkasbitung pada 11 Februari 2018.  Dari pembicaraan selintas dengan beliau dan dari buku-buku karyanya terasa bahwa ia sangat mencintai Indonesia.

Ratih Poeradisastra dan Peter Carey 
pada acara pembukaan museum Multatuli
di Rangkasbitung pada 11 Februari 2018.
Untuk hadiah ulang tahunnya yang ke-70 diterbitkan buku Urip iku Urub yang berisi tulisan-tulisan beberapa orang yang mengenalnya dengan dekat. Pria yang selalu berkemeja batik ini juga menulis sedikit kisah hidupnya di buku itu. Dalam bahasa Jawa Urip iku Urub artinya hidup itu nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain.

Ini adalah pesan dari Peter Carey untuk kita sebagai bangsa Indonesia dalam buku Urip iku Urub:
“Ada estimasi bahwa 90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia yang dipublikasikan di luar negeri justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia yang sebagian besar tentunya adalah orang asing atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri dan menjadi WNA (Warga Negara Asing). Jika angka itu benar, maka Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia luar. Situasi semacam itu tidak baik untuk Indonesia pada masa mendatang. Padahal ramalan ekonomi terkini dari McKinsey Global Institute adalah Indonesia akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke-16 menjadi yang ke-tujuh pada 2030.

Jadi istilah ‘Jasmerah’ (Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah’) yang diungkapkan Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1966  kini semakin memperlihatkan kebenarannya. Tanpa cinta dan penghargaan kepada sejarahnya sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan ditakdirkan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu jati diri mereka yang sebenarnya.”


Tidak ada komentar: