Sabtu, 09 Februari 2019

Tionghoa dan Betawi


Pada abad ke-16 VOC mendatangkan orang-orang Bugis, Bali, Ambon, Banda, dan terutama Tionghoa ke Batavia untuk menjadi tenaga kerja mereka. Di Batavia kemudian terbentuk kampung Bugis, kampung Ambon, kampung Bali, kampung Makassar, dan sebagainya. India Muslim dan Arab tinggal di kampung Pekojan. Pergaulan antar etnis di Batavia membuat budaya mereka saling memengaruhi.

Etnis Betawi  cukup banyak dipengaruhi budaya Tionghoa, sebaliknya Tionghoa peranakan dipengaruhi budaya Betawi. Begitu dekatnya interaksi budaya kedua etnis ini  sampai muncul selorohan orang Betawi: “Betawi amé Ciné ubungannyé kayé gigi amé bibir ajé.” Orang Betawi  belajar silat dari Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri mirip Tionghoa, cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan Tionghoa yaitu duduk di kursi dan memakai meja, bukan duduk di hamparan tikar.

 Ada beberapa istilah yang memakai bahasa Tionghoa Hokkian selatan, seperti: gua, lu, seceng (seribu), cabo (perempuan), kongko (mengobrol), teko, kuaci, dipan, kemoceng, anglo, mangkok, dan sebagainya. Di bidang kuliner juga ada yang berasal dari Tionghoa seperti kecap (dari kata ke-chiap), mie, bihun, kuetiau, somay, bakso, capcay, tahu, toge, tauco, kucai, juhi, ebi, tepung hunkue, lokio, lumpia,dan sebagainya.

Pengaruh budaya Tionghoa terasa pula dalam pernikahan tradisi Betawi. Di wilayah Jabodetabek suatau pernikahan ala Betawi kurang lengkap bila tanpa bunyi serangkai petasan pada waktu pengantin pria berangkat dari rumah orangtuanya. Bunyi petasan ini merupakan pengaruh budaya Tionghoa. Begitu pula pesilat berseragam yang membawa senjata khas Tionghoa berupa tongkat panjang. Para pesilat ini bertugas mengarak pengantin.

Pakaian perempuan Betawi sama seperti pakaian pengantin perempuan tradisi Tionghoa peranakan. Aksesori pengantin ala Putri Cina terdiri atas serangkaian tusuk konde berornamen bunga dan dapat bergoyang mengikuti gerakan kepala pengantin sehingga dikenal dengan sebutan Kembang Goyang.  Diantaranya terdapat empat batang tusuk konde yang panjang yang dinamakan tusuk konde Burung Hong. Ada penutup wajah pengantin perempuan yang disebut Siangko. Baju pengantin berpotongan Mancu disebut baju Tuaki dan bagian bawahnya berupa rok lipit disebut Kun. Di bagian punggung, bahu, dan dada pengantin perempuan terdapat aksesori yang disebut terate.

Kalau datang ke perkawinan para tamu akan memberikan angpau yaitu amplop bergaris merah berisi uang kepada tuan atau nyonya rumah. Para pria Betawi biasanya memakai baju koko dengan padanan celana batik dan sarung yang diselempangkan di leher.  Para perempuan memakai kebaya nyonya.  Kebaya ini merupakan pengaruh tidak langsung orang Tionghoa peranakan terhadap kaum Betawi, meski asalnya dari kaum Belanda peranakan (Indo). Kebaya ini kemudian diadaptasi dan dimodifikasi kaum Tionghoa peranakan (Nyonya).

Jika kebaya kaum Indo hanya berwarna putih dengan pinggiran berenda indah, maka kebaya perempuan Tionghoa peranakan lama kelamaan tidak lagi berwarna putih dan berenda namun diberi bordir (sulaman) benang warna-warni. Bermacam motif dekoratif disulamkan di sini, mulai dari aneka flora, kupu-kupu, burung, dan lain-lain.

Jika kebaya Indo memiliki ujung rata, kebaya nyonya dibuat menjadi sonday (meruncing). Ujung sonday inilah yang kemudian menjadi ciri khas kebaya nyonya peranakan yang kemudian popular dengan sebutan kebaya encim. Selanjutnya kebaya encim  dikenakan perempuan Betawi dan menjadi dress code dalam berbagai event bernuansa budaya Betawi. Tapi kebaya nyonya yang diadopsi orang Betawi sama sekali tidak menampilkan bentuk hiasan seperti udang, ikan, rusa, kupu-kupu, dan burung.


Menjelang Sincia (tahun baru Imlek) di kalangan peranakan di Jakarta ada kebiasaan turun temurun mengantarkan ikan bandeng dan kue keranjang untuk mertua atau calon mertua. Ini diangap tindakan yang tahu adat.Tak jarang ikatan pertunangan dinyatakan  putus karena sang calon menantu tidak tahu adat, tidak mengerti kewajibannya mengantar ikan bandeng dan kue keranjang kepada calon mertua. Kebiasaan ini masih dilakukan di kalangan Betawi dengan membelinya di pasar ikan bandeng di Rawabelong, Jakarta Barat, yang ramai menjelang Sincia.

Sumber: buku Tionghoa dalam Keindonesiaan Jilid II




Tidak ada komentar: