Jumat, 06 November 2020

Kisah Eksil di Praha

 

Martin Aleida, penulis buku Tanah Air yang Hilang, bersama Soegeng Soejono, eksil di Ceko.

Soejono Soegeng Pangestu berangkat ke Cekoslowakia pada 10 September 1963 untuk kuliah di sana. Setahun belajar bahasa Ceko, ia mulai kuliah ilmu Ekonomi di Praha, ibu kota Cekoslowakia (kini pecah menjadi dua negara). Banyak mahasiswa Indonesia di sana. Di jurusan Ekonomi hanya batu loncatannya. Ia kemudian diterima di Charles University di Praha jurusan Pedagogi dan Psikologi Anak. Pada 1965 terjadi peristiwa Gerakan 30 September di tanah airnya. Dua minggu kemudian para mahasiswa di-screening satu per satu di KBRI. Pertanyaannya cuma satu: “Apakah Saudara setuju dengan Orde Baru atau tidak?”

 “Saya tidak tahu Orde Baru itu apa, kok saya harus menentukan setuju atau tidak. Kabarnya masih simpang siur. Berita yang ada adalah terjadi pembunuhan di sana-sini. Malah ada berita bahwa siapa saja bisa dituduh PKI lalu ditembak. Macam-macam beritanya. Saya tidak setuju dengan rezim yang tidak menghormati hak-hak azasi manusia.”

 “Kalau begitu Saudara komunis,” kata orang yang melakukan screening.

 “Saya setan belang, tai kucing, itu bukan urusan Saudara,” jawab Soejono. “Saya ini dididik orang tua supaya hidup jujur. Saya orang kampung. Biar menderita dalam hidup, tapi kalau jujur akan diterima oleh Allah. Begitulah ajaran orang tua saya sejak saya dari kampung. Saya dididik di kepanduan (kini Pramuka). Tidak ada ajaran untuk melakukan kekerasan terhadap siapa pun juga.”

 “Kalau begitu Saudara harus pulang.”

 Lho Saudara logikanya bagaimana? Saya harus pulang ke Indonesia di mana ada orang lewat di jalan ditembak karena dituduh PKI. Padahal penembaknya menginginkan istrinya yang cantik. Kalau saya pulang saya juga bisa ditembak.”

 “Kalau begitu visa Saudara tidak bisa diperpanjang.”

 “Siap.”

Soejono mengambil sikap seperti itu karena ia yakin jalan dan tujuannya benar. Yang setuju dengan Orde Baru tidak mendapat masalah, sedangkan semua yang tak setuju minta suaka politik. Permintaan suaka politik mereka diterima. Mereka diurus Palang Merah Ceko. Mereka diberi rumah. Setelah selesai kuliah diberi pekerjaan. “Tapi istri harus cari sendiri. Hehehe...,” cerita Soejono kepada Martin Aleida yang menuliskan kisah hidupnya dan kisah 18 eksil lainnya di buku Tanah Air yang Hilang.

Soejono diterima sebagai ahli Pedagogi. Setelah lulus, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Ia melanjutkan kuliah Kultur Politik dan Media Massa di Praha. Ia tak mau berutang kepada negaranya, tetapi ilmu dan pengalaman hidupnya tak dapat dimanfaatkannya untuk memberi kontribusi kepada Indonesia di mana ia berutang budi. “Itu membuat saya sedih. Saya tetap merasa berutang budi kepada Indonesia. Karena itu apa saja yang dapat membangkitkan gairah mengenai Indonesia, saya bantu. Saya membantu berbagai kegiatan di KBRI. Juga kepada orang-orang Indonesia yang datang ke Ceko. Saya ikut membantu hubungan baik Indonesia dan Ceko. Selain itu saya menjadi dosen Bahasa dan Budaya Indonesia,” cerita Soejono.

Orang-orang Ceko yang ingin belajar bahasa Indonesia berguru kepada Soejono gratis. Siapa saja yang tertarik pada Indonesia dibantu Soejono gratis. “Yang saya inginkan dari mereka cuma satu, supaya kita menjadi sahabat yang kekal. Itu lebih penting daripada uang.”

Tidak ada komentar: