Minggu, 01 November 2020

Tanah Air yang Hilang


Banyak orang Indonesia yang dikirim untuk belajar di luar negeri tapi tak diizinkan kembali ke tanah airnya setelah peristiwa 30 September 1965. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk belajar ke luar negeri, menimba ilmu untuk dibawa pulang ke tanah air. Mereka yang berada di negara-negara komunis seperti Uni Soviet (kini Russia), China, Yugoslavia (kini pecah menjadi lima negara), dan Chekoslovakia (kini pecah menjadi dua negara) dilarang pulang ke tanah airnya setelah Presiden Soekarno lengser. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang 32 tahun bertahta. Mereka terpaksa kehilangan tanah air karena paspor mereka dicabut pemerintah Orba sehingga mereka harus mencari tanah air baru, haknya atas sebuah tanah air Indonesia telah dirampas. Meminta suaka dari negara-negara Eropa terutama Belanda, Jerman, Prancis, Ceko, Swedia, dan Bulgaria, mereka kemudian menjadi warga negara di sana.

Penulis Martin Aleida datang ke negara-negara di Eropa, mencari para eksil, dan mewawancarai mereka mengenai awal mereka kehilangan tanah air sampai kini mereka berpuluh tahun tinggal di negeri orang. Sebelum menjadi orang buangan, mereka terdiri atas Rektor, mahasiswa, jurnalis, guru, sarjana teknik, dan sebagainya. Tidak mudah menelusuri keberadaan kaum ‘klayaban’. Dengan usaha kerasnya Martin berhasil menulis kisah sembilan belas eksil dalam buku Tanah Air yang Hilang. Ada yang tetap menjadi eksil di Prancis
sampai akhir hayatnya. Anaknya menceritakan kepada Martin bahwa ia bersama saudara-saudaranya terpaksa menjadi pengamen di metro untuk membantu orang tua mereka. Ada pula insinyur kimia yang menjadi kuli semen di Uni Soviet, juga ada insinyur hidroteknik yang menjadi tukang las di Prancis. “Berita tentang Indonesia terus kami ikuti setiap hari. Malah lebih banyak kami ikuti berita tentang Indonesia daripada Prancis. Kami tinggal di Prancis tapi perasaan kami seperti di Indonesia,” cerita seorang narasumber. “Kami tak punya kewarganegaraan. Inilah nasib yang tak kami duga. Padahal posisi kami jelas. Kami setia dan cinta tanah air. Kami ingin pulang untuk menyumbangkan sesuai kemampuan kami masing-masing bagi kemajuan Indonesia,”cerita narasumber lain mengenai masa lalunya.
Meski banyak kisah memilukan dari perjalanan hidup manusia, buku ini ditulis dengan bahasa yang indah oleh seorang jurnalis, novelis, juga cerpenis Martin Aleida. Terima kasih sudah menulis buku ini, Pak Martin. Sehat selalu. Amin.

Tidak ada komentar: