Jumat, 27 November 2020

Orang-orang Arab di Jakarta

Sama seperti keturunan China, orang-orang Arab juga telah ratusan tahun datang ke nusantara terutama untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Pada mulanya banyak dari mereka kawin dengan wanita pribumi dan melebur sebagai penduduk Indonesia. Baru pada abad 19 mereka mulai berdatangan dalam jumlah lebih banyak terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869. Pada umumnya mereka datang dari Hadhramaut, Yaman Selatan, yang dilintasi oleh pelayaran dari Eropa ke Indonesia melalui Suez. Mereka disebut orang Hadhrami. Ada juga yang datang dari jalur koloni Inggris yaitu melalui Aden ke Singapura kemudian ke Jakarta.

Jumlah penduduk Arab di Jakarta lebih sedikit daripada penduduk China. Seperti penduduk China, orang-orang Arab dulu juga diharuskan oleh pemerintah kolonial Belanda bermukim di suatu lokasi tertentu. Di Jakarta awalnya mereka tinggal di Pekojan di bagian kota lama. Kemudian pada akhir abad 19 beberapa keluarga Arab yang cukup kaya mulai pindah dan menetap di Krukut dan Tanah Abang. Salah seorang yang terkenal adalah Said Abdullah bin Alwi Alatas, pengusaha kaya dan tuan tanah yang membeli rumah bagus yang sekarang menjadi Museum Tekstil. Orang Arab kaya lainnya adalah Umar Mangus, pedagang gula dan tuan tanah yang menjadi pemimpin komunitas Arab sejak 1902 hingga 1931.
Setelah 1919 pemerintah kolonial menghapus keharusan untuk tinggal di lokasi tertentu bagi penduduk Timur Asing. Banyak penduduk Arab pindah dari Pekojan ke Krukut, Tanah Abang dan Petamburan. Dari sini mereka menyebar ke tempat-tempat lain seperti Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, Kwitang, kemudian juga Menteng. Sampai 1950-an Krukut terkenal sebagai kampung Arab sehingga di Jakarta pada waktu itu terkenal istilah orang Krukut untuk menyebut orang Arab.
Kebanyakan penduduk Arab dikenal sebagai pedagang dan rentenir. Pada 1950-an citra tentang orang Arab adalah rentenir atau pedagang bahan bangunan dan mebel. Jadi dikenal sebutan Arab Material atau Arab Furniture. Tapi pada akhir 1980-an orang Arab mulai meninggalkan bisnis mebel dan material. Mereka beralih ke bisnis lain seperti jual beli tanah, jual beli properti, mendirikan perusahaan travel haji dan umrah. Namun banyak juga yang menjadi dokter, pengacara, dan politikus. Mereka menjadi kaum elite masyarakat Arab di Jakarta pada 1950-an. Misalnya, keluarga Alatas, Algadri, Alaydroes, Syahab, Shihab, Bassalama, Tadjoedin, Makarim, dan beberapa lainnya.
Anies Baswedan (kiri) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2014 -2016)  dan Nadiem Makarim (kanan) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 - 2024



Dalam tradisi masyarakat Arab, perkawinan yang paling ideal adalah bila pasangan calon pengantin sama-sama dari keluarga Arab. Walaupun banyak orang keturunan Arab tetap memelihara tradisi dan pertalian sesama mereka, banyak keturunan Arab yang sudah membaur dengan penduduk pribumi. Pada 1950-an masih ada Partai Arab Indonesia yang didirikan Abdurrahman Baswedan.
Sangat berbeda dengan keturunan Tionghoa, diskriminasi terhadap orang Arab hampir tak pernah terjadi. Bahkan banyak orang Indonesia yang menghormati mereka karena dianggap sebagai ‘keturunan Nabi’. Beberapa dari mereka menggunakan gelar Syech, Sayid atau Habib. Banyak juga yang masih mengenakan gamis dan jubah tradisi Arab. Pengaruh budaya Arab di Jakarta cukup besar, misalnya dalam bahasa seperti ane, ente, fulus, haram, halal, dan lain-lain. Upacara sunatan dan perkawinan serta musik dan tarian Betawi juga banyak dipengaruhi tradisi Arab. Sementara tradisi China memengaruhi busana tradisional dan kuliner Betawi.
Sumber: buku Jakarta 1950-an Kenangan Semasa Remaja karya Firman Lubis.

Tidak ada komentar: