Selasa, 01 Desember 2020

Kami Tetap Anti-Soeharto

I Ketut Putera tiba di Sofia, ibu kota Bulgaria, pada 1963. Ia memenuhi seruan Presiden Soekarno agar menimba ilmu di luar negeri dan pulang untuk membangun tanah air dengan bekal pengetahuan. Tapi ternyata Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasaannya sejak peristiwa G30S pada 1965. Putra Bali itu memilih lebih baik kehilangan Indonesia daripada tunduk pada Soeharto.


Lima tahun kemudian ia menikah dengan gadis Bulgaria, teman kuliahnya. Ia membiarkan KBRI memberangus paspornya dan memilih menjadi warga negara Bulgaria. Ia bekerja selama 23 tahun di Kementerian Perdagangan Luar Negeri Bulgaria. Kini ia berusia 80 tahun. “Saya pendukung Jokowi,” katanya. Pada 2006 Jokowi sebagai Wali Kota Solo berkunjung ke Montana, Bulgaria, untuk menandatangani kesepakatan bersama antarkota Montana-Solo.
I Ketut Putera menjadi penerjemah untuk Jokowi di sana. "Saya belajar bahasa Bulgaria terlebih dahulu selama setahun sebelum belajar ekonomi. Yang mengajarkan bahasa Bulgaria ketika itu tidak menguasai bahasa Inggris. Jadi agak susah mengajarnya. Orang-orang di sini kurang menguasai bahasa asing," ceritanya kepada Martin Aleida yang menulis kisah delapan belas eksil dalam buku Tanah Air yang Hilang.
Pada waktu I Ketut Putera berusia 20 tahun ia pindah dari Bali ke Jakarta untuk bekerja sambil belajar karena orang tua tak sanggup membiayai pendidikannya. Ia bekerja di Garuda Indonesian Airways sambil belajar di Akademi Perniagaan Indonesia. Pada awal 1960-an Presiden Soekarno memberinya kesempatan untuk belajar di luar negeri, menimba ilmu di sana untuk dibawa pulang ke tanah air. Pada waktu itu terbuka kesempatan untuk belajar di negara-negara sosialis. Pada 1963 ia lulus tes dan terpilih untuk belajar selama lima tahun di Bulgaria. Tapi ternyata pada Oktober 1965 terjadi gejolak politik di Indonesia. Presiden Soekarno digulingkan padahal I Ketut Putera ditugaskan belajar oleh pemerintahan Soekarno. Ketika itu ia baru duduk di tingkat dua Fakultas Ekonomi di Sofia.
“Saya setia kepada amanat yang diberikan Presiden Soekarno untuk menunaikan tugas belajar. Di bawah pemerintahan Soeharto terjadi perubahan sikap politik. Saya dan beberapa teman tidak setuju dengan Soeharto dan bersikap setia kepada Presiden Soekarno. Jadi paspor saya dicabut KBRI pada awal 1967, saya stateless, tak punya kewarganegaraan. Pihak kedutaan berusaha memancing-mancing kami untuk pulang dengan janji akan diberikan surat keterangan pro-Soeharto. Namun kami tetap anti-Soeharto. Mahasiswa yang pro-Soeharto mendapat bantuan, studi mereka bisa jalan terus. Para mahasiswa anti dan pro-Soeharto menjadi terpecah di mana-mana,” ceritanya.

Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Bulgaria ketika muncul masalah Irian Barat (kini Papua). “Jadi Pemerintah Bulgaria mengerti siapa kami sehingga mereka bekerja sama dengan Palang Merah Internasional untuk membantu kami. Tapi kami tak punya kewarganegaraan karena paspor dicabut KBRI. Padahal kami setia dan cinta tanah air dan ingin pulang ke Indonesia untuk menyumbangkan kemampuan kami bagi kemajuan Indonesia. Terpilihnya Jokowi bagi saya merupakan tonggak sejarah. Pada perayaan 17 Agustus 2015 Duta Besar RI memberikan tumpeng kepada saya sebagai orang tertua, usia saya 75 tahun pada waktu itu. Pada zaman Soeharto saya tidak pernah diikutkan pada acara 17 Agustus, saya dicap sebagai pecahan Indonesia. Begitulah jalan hidup saya. Wong cilik dari Bali yang belajar dan ingin memberikan sumbangan kepada pembangunan Indonesia, ternyata menemukan kenyataan hidup yang lain.”

Tidak ada komentar: