Jumat, 02 Februari 2018

Bajaj Samsuri



Pak Samsuri adalah sopir bajaj langganan saya. Saya sering meneleponnya untuk minta dijemput dan diantar pulang. Ia selalu datang tepat waktu, ramah, dan rajin membersihkan bajaj-nya meski bukan miliknya.Setiap sepuluh hari ia menyetor uang kepada pemilik bajaj sebesar Rp 800.000,-. “Padahal setiap hari penghasilan saya rata-rata hanya 50 ribu. Kadang-kadang gak ada penumpang dalam sehari. Tapi pernah juga dapat 200 ribu sehari. Saya sering utang kepada juragan saya,” katanya. 

Samsuri berusia 61 tahun, pernah menjadi tukang becak pada 1973 sampai 1980. Becaknya biasa mangkal di Jalan Asem, Cipete, Jakarta, dan di Puskesmas Cipete. “Saya harus setor kepada juragan becak Rp 50 sehari. Lama kelamaan naik menjadi Rp 75 sehari. Penghasilan saya narik becak sekitar Rp 200 sampai seribu sehari,” katanya.

Setelah becak dilarang beroperasi di Jakarta,  ia menjadi penjual bakso keliling, penjual soto mie, dan pengebor sumur. Kemudian ia belajar mengemudikan angkot dengan gratis. Tetangga di kampungnya di Tegal yang menjadi sopir angkot di Jakarta mengajarinya menyetir. “Tetangga saya sudah almarhum sekarang. Saya selalu ingat kebaikannya. Saya bisa jadi sopir karena dia,” cerita Samsuri. 

Samsuri menjadi sopir pribadi. Setelah majikannya meninggal, ia menjadi sopir bus Kopaja jurusan Depok – Blok M. Memiliki enam anak, penghasilannya sebagai sopir bus tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia kemudian beralih menjadi sopir bajaj pada 1998. 

“Saya gak takut bersaing dengan tukang becak kalau mereka datang ke Jakarta. Mereka dengan sendirinya akan berhenti jadi tukang becak, karena banyak saingan. Jadi sopir bajaj aja susah ngejar uang setoran, apalagi kalau jadi tukang becak.”

Tidak ada komentar: