Jumat, 16 Februari 2018

Museum Multatuli






Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker pada novelnya yang berjudul Max Havelaar. Ia lahir di Amsterdam dan menjadi Asisten Residen di Lebak pada Januari sampai April 1856. Novel itu berkisah tentang kekejaman pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat jajahannya. Ia mengamati penderitaan rakyat Lebak dalam masa tanam paksa (cultuurstelsel). 

Sistem tanam paksa diberlakukan penjajah Belanda pada 1830. Dalam sistem tanam paksa setiap desa wajib menyisihkan tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor. Hasil-hasil pertanian penduduk dipungut Belanda untuk menolong keuangan Belanda. Perang Diponegoro (1825 -1830) menelan banyak biaya sehingga Belanda mengalami defisit keuangan. Kondisi keuangan Belanda makin parah karena Perang Belgia yang membuat Belgia memisahkan diri dari Belanda (1830). Selain itu VOC (perusahaan perdagangan Belanda yang kemudian bangkrut dan diambil alih pemerintah Belanda) meninggalkan banyak utang. Sistem tanam paksa ini memberi keuntungan luar biasa sehingga dapat menutup semua utang VOC dan membuat perekonomian Belanda stabil. 

Raden Adipati Karta Natanagara menjad Bupati Lebak pada 1830 -1865. Makamnya di belakang masjid raya di dekat alun-alun Rangkasbitung, tak jauh dari museum Multatuli. Dalam novel Max Havelaar Bupati ini digambarkan sebagai tokoh feodalistik yang menindas rakyat. Rakyat di Lebak sangat miskin, sedangkan Bupati mereka bergelimang kemewahan. Bahkan menantunya, Demang Raden Wirakusuma, kerap kasar dan memeras warga. Perilaku serakah mereka melebihi penjajah.



Eduard Douwes Dekker marah melihat ketidak adilan di Lebak. Novelnya yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak ini memberi perubahan besar. Di Belanda novel ini memberi kesadaran mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Akhirnya penjajah Belanda menghapuskan  Cultuurstelsel pada 1870. Nama Multatuli diabadikan menjadi nama jalan raya utama menuju kawasan alun-alun di Rangkasbitung, provinsi Banten.

Patung karya Dolorosa Sinaga

Pada 1899 Van Deventer menulis artikel di De Gids yang berjudul Een Eerschuld (Utang Budi). Ia menilai Belanda berutang budi pada rakyat jajahannya yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi De Locomotief di Semarang, menyuarakan pentingnya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral bagi bumiputera di Hindia Belanda. Selanjutnya makin banyak gerakan kaum Etis agar Belanda memberi keadilan bagi rakyat jajahan. Pada Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengesahkan politik Etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. 

 Rangksabitung, 11 Feb 2018

Tidak ada komentar: