Jumat, 09 Maret 2018

Keturunan Pangeran Diponegoro



Jauh ramai
Tempat yang terkiri
Makam Diponegoro
Pahlawannya sejati
Membela bangsa kita
Pahlawan yang berhati suci

Itulah nyanyian rakyat tentang Diponegoro yang populer pada zaman Kebangkitan Nasional (1908 – 1942) dan Orde Lama (1945 – 1966).


Perlawanan Pangeran Diponegoro sangat gigih melawan Belanda. Penjajah Belanda sangat sulit menangkapnya. Akhirnya dengan cara yang licik Belanda berhasil menangkapnya dan membuangnya ke Sulawesi Selatan. Ia menghabiskan sisa hidupnya di balik tembok benteng di Makassar.

Pada akhir 1848 ia meminta kepada Gubernur berkebangsaan Belanda agar diizinkan bertemu lagi dengan kedua putranya, Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib yang telah dibuang ke Ambon. Ia juga mencemaskan nasib putera sulungnya, Pangeran Diponegoro II, yang berada dalam pengasingan di Sumenep. Namun permintaan mantan pemimpin Perang Jawa itu tidak dikabulkan.
Keturunan Pangeran Diponegoro berserakan, terpisah, dan tidak pernah saling mengenal karena jarak dan waktu. Mereka saling mencari sampai akhirnya Allah mengizinkan mereka bertemu di bekas kediaman Kanjeng Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta, pada 2012. Mereka bertemu 187 tahun setelah kediaman itu dibumihanguskan Belanda.

Ini cerita Ki Roni Sadewo, keturunan ke-tujuh Pangeran Diponegoro, seperti yang ditulis oleh sejarawan asal Inggris Peter Carey:
Kanjeng Pangeran Diponegoro mewariskan kebanggaan tersendiri. Dalam tubuh kami mengalir darah seorang pejuang yang kegigihannya diakui musuh-musuhnya. Tetapi dalam kebanggaan itu juga melekat beban dan tanggung jawab untuk menjaga nama baik beliau.
Penangkapan dan pembuangan Pangeran Diponegoro (1830 – 1855) menyisakan penderitaan yang dalam pada ibu, istri-istri, putra-putri, dan generasi penerusnya. Keturunan Pangeran Diponegoro di pulau Jawa mengalami penderitaan panjang dengan menyandang stempel keturunan pemberontak yang terus dikejar-kejar penjajah Belanda, kesultanan, dan kasunanan. Mereka hidup bagai binatang di dalam hutan yang selalu menjadi buruan dan terpaksa melepas segala gelar keningratan, menjadi rakyat biasa sambil terus melakukan perlawanan.
Nasib keturunan Kanjeng Pangeran Diponegoro di pembuangan tidak kalah menyakitkan. Mereka hidup di tanah asing dan tak pernah diizinkan kembali ke tanah nenek moyang di Jawa sampai menjelang kemerdekaan.
Sumber: biografi Pangeran Diponegoro 'Takdir' karya Peter Carey

Tidak ada komentar: