Jumat, 16 Maret 2018

Muslim Tionghoa di Yogyakarta

Sepulang dari acara pembukaan museum Multatuli di Rangkasbitung tanpa sengaja saya bertemu dengan penulis buku ‘Muslim Tionghoa di Yogyakarta’ di stasiun kereta api di kota itu. Ia sedang berbincang dengan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, ‘Orang Jawa dan Masyarakat Cina’ serta buku ‘Korupsi Sejak Zaman Daendels Sampai Reformasi’.
Di kereta api saya baca sepintas buku karya Sunano ini:
Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya membagi penduduk Jawa berdasarkan agama (1) Orang-orang Kristiani (2) orang-orang Islam (3) orang-orang bukan Kristen bukan Islam. Kelompok ke-tiga ini adalah orang Tionghoa dan orang Keling (Hindu). Ketika etnis Tionghoa memeluk Islam maka ia akan dimasukkan ke kelompok ke-dua.
Dibuat peraturan itu di Yogyakarta karena etnis Tionghoa bukan menjadi kawula Sri Sultan. Pemerintah Belanda secara ketat membatasi interaksi Tionghoa dengan pribumi, jangan sampai banyak etnis Tionghoa memeluk Islam. Orang Tionghoa enggan ke luar dari kampung pecinan, karena jika mereka ingin berinteraksi dengan pribumi, mereka harus melewati gerbang jalan dan harus membayar pajak kepala (hoofdengeld) yang sangat mahal. Meski demikian muslim Tionghoa tetap berinteraksi dengan pribumi.
Perlawanan terhadap Belanda yang dipelopori orang Islam bekerjasama dengan muslim Tionghoa sering terjadi. Pemberontakan Sarip Prawirosentono bekerjasama dengan orang Tionghoa bernama Boen Seng adalah salah satu contohnya. Selanjutnya Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang melarang etnis Tionghoa masuk Islam. Dibuat peraturan bahwa etnis Tionghoa Yogyakarta berada di bawah pengawasan Belanda. Sedangkan Sri Sultan hanya membawahi pribumi dan etnis lokal.
Pemerintah Belanda juga membuat peraturan yang membagi masyarakat menjadi empat kelompok (1) orang-orang Eropa termasuk Australia, Amerika, dan Afrika Selatan, karena mereka umumnya beragama Kristen (2) orang-orang yang disamakan kedudukan hukumnya dengan orang Eropa, yaitu orang Jepang (3) Pribumi (4) orang-orang yang disamakan kedudukan hukumnya dengan pribumi, termasuk India, Tionghoa, dan Arab. Pada umumnya kelompok ke-empat ini beragama Islam.
Tionghoa yang masuk Islam akan memotong kucir panjang atau thauweang sebagai simbol telah masuk Islam. Kucir (pigtail) pada waktu itu adalah simbol identitas Tionghoa yang diterapkan sejak dinasti Manchu di Tiongkok.

Tidak ada komentar: