Rabu, 14 Maret 2018

Pantjoran Tea House



Kawasan Pancoran Glodok adalah pintu gerbang utama menuju kota Batavia dari arah selatan pada masa kolonial Belanda. VOC mulai membangun kanal dan tembok kota pada 1622. Pancuran kanal di daerah itu  mengeluarkan bunyi ‘grojok’. Penduduk Tionghoa di sana menyebut ‘glodok’ untuk bunyi air pancuran itu. Sementara pancuran air disebut Pancoran. 

Batavia semakin berkembang. Kawasan Pancoran Glodok  menjadi tempat perniagaan. Kapiten Gan Djie dan istrinya selalu meletakkan delapan teko teh di depan kantornya bagi orang-orang yang lelah dan ingin berteduh. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Patekoan (kini Jalan Perniagaan). Pa berarti delapan, te berarti teh, koan berarti poci dalam bahasa Mandarin. 

Di Jalan Pancoran 6, Glodok, terdapat apotek Chung Hwa yang dibangun pada 1928. Situs ini dinominasikan sebagai World Heritage. Apotek ini kemudian diubah menjadi Pantjoran Tea House, tempat minum teh. Revitalisasi bangunan milik perorangan ini dilakukan oleh arsitek Ahmad Djuhara, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia, pada September 2014. Enam belas bulan kemudian, pada 15 Desember 2015, bangunan ini diresmikan oleh Lin Che Wei, CEO Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC). 

Terinspirasi oleh kebaikan Kapiten Gan Djie, Pantjoran Tea House juga menyediakan delapan teko teh gratis di teras depan. Tentu tidak gratis bila kita makan dan minum di dalam Pantjoran Tea House. Harga tiga gelas minuman, satu porsi ikan malas ukuran tiga ons, dan satu porsi sayuran sekitar Rp 400 ribu.

Tidak ada komentar: