Kamis, 02 Juli 2020

Mudik ke Kampung Illahi

Pulang adalah peristiwa yang membahagiakan. Ketika pulang dari kantor, sekolah, luar negeri, atau bahkan dari berbelanja, semua kita rasakan membawa kebahagiaan. Ini karena kita akan segera bertemu keluarga yang kita cintai. Begitu pun dengan kematian. Kematian adalah mudik besar ke kampung Ilahi untuk berjumpa Allah, Kekasih Tercinta. Bukankah ini juga satu peristiwa yang membahagiakan?
Bagi masyarakat yang lahir di kampung, lalu mengadu nasib di kota, tentu punya konsep tentang mudik. Satu momen untuk pulang kampung. Mudik ke kampung tidak selalu dilangsungkan ketika perayaan Idul Fitri. Akan tetapi, sesungguhnya kapan saja ketika si perantau merasa siap atau harus siap untuk pulang kampung. Bagi perantau yang sukses, tentu tidak ada rasa malu utnuk pulang. Bahkan mungkin ia pulang dengan penuh rasa bangga. Bagaimana tidak, ia akan mendapat banyak pujian dari tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Mungkin itu logika sederhana tentang konsep pulang.
Begitu pun dengan kematian. Sebagai persinggahan, hidup hanya sekedar pelabuhan untuk mengumpulkan perbekalan karena perjalanan mesti dilanjutkan. Kita semua harus melanjutkan ke tempat asal kita. Dan tempat asal kita adalah kampung Ilahi. Bila di tempat persinggahan kita terlena, kita akan terbelalak ketika terompet kapal di pelabuhan menyalak. Kita lalu tergopoh-gopoh untuk pulang. Jangankan ketenangan dan rasa bangga, bekal yang mana yang harus kita bawa pun belum bisa ditentukan. Semoga kita diberi hidayah untuk selalu mendapatkan bekal yang seharusnya. Semoga kita selalu siap untuk menerima panggilan ‘pulang’ dariNya meski kita tengah asyik dan betah menikmati panorama pelabuhan.
Sumber: buku 250 Wisdoms. Membuka Mata, Menangkap Makna karya Prof. Komaruddin Hidayat.

Tidak ada komentar: