Kamis, 12 November 2015

I Shall Return!

Douglas MacArthur (1880-1964)

Saya datang ke Pearl Harbor National Memorial di Hawaii pada akhir Desember 1992. Di sana diputar film dokumenter tentang Perang Asia Pasifik. Dalam perang ini terkenal nama Jenderal Douglas MacArthur yang dihargai lawan dan kawan. Ia menjadi Jenderal Angkatan Darat AS yang sangat berperan dalam Perang Dunia II (1939 – 1945) di medan pertempuran Asia Pasifik. 

Sebelum Perang Dunia II, pada 1937, ia diminta untuk menjadi penasehat militer oleh presiden pertama Republik Filipina Manuel Quezon. Pangkatnya Field Marshall (perwira dengan pangkat tertinggi). Pada waktu itu Republik Filipina baru didirikan dan MacArthur baru pensiun sebagai Kepala Staf Angkatan Darat AS pada usia 57 tahun.

Pada usia 61 tahun ia dipanggil kembali oleh negaranya untuk menjalani dinas militer aktif.  Ia diangkat sebagai Panglima Pasukan Angkatan Darat AS untuk Timur Jauh, organisasi militer yang baru saja dibentuk. Itu terjadi pada 1941 ketika mulai terlihat bayang-bayang ancaman Perang Pasifik melawan Jepang.

Pada Desember 1941 Jepang mulai melancarkan Perang Pasifik dalam Perang Dunia II. Balatentara Jepang menduduki Filipina, bahkan seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada  awal 1942 serangan Jepang  luar biasa dengan kekuatan besar dan tiba-tiba. Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur untuk segera mundur ke Australia.

Patuh pada perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi, MacArthur berangkat ke Australia. Ia berhasil menembus blokade tentara Jepang dan lolos dari Filipina ke Australia. “I Shall Return!”  Itu sumpahnya. Dengan tekad kuat, ia menepati sumpahnya. Ia berhasil kembali dan merebut Filipina pada 1944. Beberapa hari setelah pendaratannya di Filipina, ia diangkat menjadi Jenderal bintang lima.

Jepang menyerah kalah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Di atas kapal perang Amerika Serikat ‘Missouri’ yang berlabuh di Teluk Tokyo secara resmi Jepang mengakui kekalahannya kepada Sekutu.  Jenderal MacArthur yang menerima secara resmi pengakuan kekalahan itu.

Pada usia 65 tahun MacArthur memulai karir barunya sebagai Panglima Tentara Pendudukan Sekutu di Jepang. Ia diangkat sebagai Supreme Commander. Meski menang perang MacArthur tetap rendah hati. Ia tak merendahkan martabat Jepang yang pernah menjadi musuhnya. Ia membimbing rakyat Jepang untuk bangkit dari kekalahan perang menjadi negara yang cepat meraih kemakmuran. Rakyat Jepang sangat menghomatinya, terutama karena ia melindungi dan mempertahankan Kaisar Jepang yang menjadi simbol dan pujaan rakyat Jepang. 

Pada usia 70 tahun sewaktu masih bertugas di Jepang, ia dilibatkan dalam perang Korea. MacArthur diangkat sebagai Panglima gabungan tentara internasional di Korea. Pada waktu itu presiden AS adalah Harry S. Truman. Ketika berlangsung perang  Korea, MacArthur berbeda pendapat dengan Presiden Truman mengenai strategi perang Korea. Ia dibebastugaskan oleh Presiden Truman dan kembali ke tanah airnya pada 1951. Usianya 71 tahun ketika itu.

Ia dianggap pahlawan oleh rakyat Amerika dan mendapat sambutan luar biasa dari seluruh penjuru. Ucapannya yang terkenal di kalangan militer "old soldiers never die, they just fade away" ia sampaikan pada pidato perpisahannya di depan Konggres AS, 19 April 1951, yang mendapatkan beberapa kali standing ovation.

Meski tangguh berperang MacArthur suka membuat puisi.

People grow old only by deserting their ideals

Years may wrinkle the skin

but to give up interest wrinkles the soul

You are as young as your faith

as old as your doubt

as young as your self-confidence

as old as your fear

as young as your hope

as old as your despair



Pada usianya mendekati 60 tahun istrinya melahirkan bayi laki-laki yang menjadi anak tunggal pasangan itu. Pada bulan Juni 1942 Jenderal Douglas MacArthur dinobatkan sebagai National Father of the Year. Pernyataannya ketika itu sangat mengesankan,

“By profession I am a soldier and take pride in that fact. 
But I am prouder — infinitely prouder — to be a father.

A soldier destroys in order to build; 

the father only builds, never destroys. 
The one has the potentiality of death; 
the other embodies creation and life.

And while the hordes of death are mighty, 

the battalions of life are mightier still. 
It is my hope that my son, when I am gone, 
will remember me not from the battle 
but in the home repeating with him 
our simple daily prayer, ‘Our Father Who Art in Heaven.'”

Ia menulis puisi berupa doa untuk anaknya, Arthur MacArthur, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia:

 

Bentuklah putraku, Oh Tuhan

Menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui

ketika ia lemah
Dan berani menghadapi dirinya sendiri

ketika ia takut
Manusia yang kuat dan tabah

dalam kekalahan yang bermartabat
serta rendah hati dan santun dalam kemenangan

Bentuklah putraku menjadi manusia yang bertekad kuat mewujudkan cita-citanya
Seorang putra yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah

landasan segala ilmu pengetahuan.

Bimbinglah ia, kumohon
bukan di jalan yang mudah dan nyaman
melainkan di jalan yang penuh tekanan dan dorongan

kesulitan dan tantangan
agar ia belajar untuk tetap berdiri di tengah badai
dan welas asih pada yang terjatuh

Jadikanlah putraku

memiliki hati yang tulus

bercita-cita tinggi

putra yang dapat memimpin dirinya sendiri

sebelum ia ingin memimpin orang lain

menjadi manusia yang menatap masa depan

juga tak melupakan masa lalu


Dan setelah semua itu menjadi miliknya
kumohon berilah ia cukup rasa humor
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya

Tuhanku
Berilah ia kerendahan hati
sehingga ia akan mengingat
Kesederhanaan dari kemuliaan sejati
Keterbukaan pikiran dari kearifan sejati
dan kelembutan dari kekuatan sejati
sehingga, hamba, ayahnya, berani berkata:

“Hidupku tidaklah sia-sia”

Puisi aslinya dalam bahasa Inggris:

Build me a son, O Lord,

who will be strong enough to know,

when he is weak,

and brave enough to face himself 

when he is affraid.

one who will be proud and unbending 

in honest defeat

and humble and gentle in victory

 

Build me a son, whose wishes will not take the place of deeds

a son who will know Thee

and that to know himself,

is the foundation of knowledge

 

Lead him, I pray, 

not in the path of ease and comfort

but under the stress and spur

of difficulties and challenge

Here let him learn to stand up in the storm

here let him learn compassion

for those who fall.

 

Build me a son

whose heart will be clear

whose goal will be high

a son who will master himself

before he seeks to master other men

one who will reach into the future

yet never forget the past

 

And after all these things are his

add, I pray, enough a sense of humor

so that he may always be serious,

yet never take himself too seriously

 

Give him humility

so that he may always remember

the simplicity of true greatness

the open mind of true wisdom

and the meekness of true strength

 

Then, I, his father, will dare to whisper:

"I have not lived in vain."



Tidak ada komentar: