Sabtu, 27 Juni 2020

Sejarah Hari Film Nasional


Bioskop pertama di dunia berlangsung di Paris, Prancis, pada 28 Desember 1895. Pada waktu itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Gambar idoep (bioskop) pertama di Batavia (kini Jakarta) diadakan oleh pemerintah Belanda pada 5 Desember 1900.

Sementara itu perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka menggebu, apalagi sesudah lahirnya perkumpulan Boedi Oetomo pada 1908. Gelora persatuan makin menyala dengan adanya Soempah Pemoeda pada 1928. Kian menonjol tokoh muda Ir.Soekarno atau biasa disebut Bung Karno yang dikagumi banyak orang karena perjuangannya melawan penjajah Belanda. Salah seorang pemujanya adalah Mohammad Noer, orang Minang yang bekerja di koran Pemandangan pimpinan Saeroen. Melalui tulisan-tulisannya Saeroen berjuang melawan penjajah Belanda. Ia membuat rubrik Kampret di koran itu yang isinya menyerang penjajah Belanda. Koran Pemandangan kemudian dibredel pada 1937.  

Mohammad Noer memberi nama Sukarno untuk putranya karena kekagumannya pada Bung Karno. Setelah Sukarno M.Noer dewasa, ia mengubah namanya dari M.Noer menjadi M. Noor karena ia mengagumi aktor populer Malaysia Roomai S.Noor. Putra ke-tiga dari pernikahan Sukarno M.Noor dengan Istiarti Rawumali dinamakan Rano yang kemudian juga menjadi aktor terkenal dan menjadi Gubernur Banten (2014 – 2015).

Pada 3 Januari 1946 Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para petinggi pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta karena Jakarta sangat tidak aman pada waktu itu. Berbagai usaha pembunuhan terhadap para petinggi pemerintah Indonesia dilakukan tentara Belanda yang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Sedangkan Yogyakarta cukup aman dari gangguan Belanda dan fasilitasnya cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.

Sebagian anggota perkumpulan sandiwara Maya pimpinan Usmar Ismail serta rombongan Bintang Timur dan Pantjawarna pimpinan Djamaludin Malik pindah ke Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang. Perusahaan film swasta dilarang berproduksi oleh Jepang sehingga orang film kembali ke panggung. Dr. Huyung, orang Korea dengan nama asli Hue Yong,  datang sebagai perwira Jepang yang tugasnya mengontrol sandiwara. Naskah sandiwara harus tertulis dan diperiksa lebih dulu, para pemain harus patuh pada naskah, dilarang berimprovisasi. Pada masa ini lahir naskah sandiwara Tjitra karya Usmar Ismail dan naskah sandiwara lainnya. Ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada 1945 Huyung membelot, ia memilih berada di pihak Indonesia.

Di Yogyakarta Usmar Ismail dan kawan-kawan berkumpul dalam kelompok diskusi film pimpinan Huyung. Rombongan Seniman Merdeka yang terdiri atas para pemain sandiwara keliling juga pindah ke Yogyakarta. Sebelumnya mereka bermain di berbagai pelosok Jakarta untuk mengobarkan semangat untuk tetap merdeka.

Pada 1949 pendudukan Belanda berakhir. Indonesia menjadi negara berdaulat pada 1950 dan Jakarta kembali menjadi ibu kota RI. Sebagian pemain sandiwara kembali ke Jakarta pada 1947 atau 1948 tapi kebanyakan kembali antara 1949 dan 1950. Pada 1948 Air Mata Mengalir di Tjitarum dibuat oleh perusahaan film Tan & Wong (gabungan Tan Bersaudara dan Wong Bersaudara) dan Saputangan diproduksi perusahaan film Bintang Surabaja milik The Teng Chun dan Fred Young. Huyung membuat film Antara Bumi dan Langit yang dibintangi S.Bono pada 1950. Usmar Ismail dengan Perfini-nya membuat film Darah dan Doa. Syuting pertamanya dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Sumber: buku Jejak Seorang Aktor Sukarno M.Noor karya S.M.Ardan


Tidak ada komentar: