Jumat, 26 Juni 2020

Ibu kota RI Pindah ke Yogyakarta




Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan RI, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Jelas mereka datang untuk menjajah kembali setelah Jepang dikalahkan Sekutu. Tentara Belanda ikut membonceng bersama Pasukan Sekutu yang bertugas melucuti dan memulangkan tawanan Jepang dari Indonesia. Pada Oktober 1945 NICA (Netherlands-Indies Civil Administration atau pemerintah sipil Hindia Belanda) mulai membuka kantor. Van Mook menjadi pimpinan kantor itu. Kedatangan Belanda banyak memunculkan masalah.
Pada akhir 1945 keadaan Jakarta sangat kacau dan tidak aman. Pembunuhan, penculikan, dan penjarahan terhadap orang-orang Republik sering terjadi. NICA sangat buas meneror penduduk Indonesia yang pro kemerdekaan. Jika ada pemuda yang mengenakan lencana merah putih, maka NICA akan memaksa agar orang itu menelan lencananya. Mereka menembak membabi buta. NICA  konflik dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan para pejuang di jalan-jalan di Jakarta. Kabinet Perdana Menteri Sjahrir kemudian mengeluarkan maklumat 19 November 1945. Sesuai isi maklumat itu, TKR ke luar dari Jakarta dan bermarkas di Tangerang, Krawang, dan Cikampek.

NICA mencoba membunuh Soekarno berkali-kali sampai ia harus tidur berpindah-pindah untuk menghindari teror. Mereka mencoba menabrak mobil yang dikendarai Soekarno. Untungnya Presiden selamat. Pada 21 November 1945 Mr. Mohammad Roem yang tinggal di Kwitang Prapatan, Jakarta, juga ditembak segerombolan orang tak dikenal di  rumahnya. Paha kirinya diterjang peluru yang mengakibatkan  Ketua KNI Jakarta itu pincang sampai akhir hayatnya. 

Pada 26 Desember 1945 ada percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Ia sedang menuju ke kantornya dengan mobil tiba-tiba dikejar truk yang penuh dengan orang bersenjata. Sopir membelokkan mobil ke sebuah rumah, tapi tetap dikejar. Mobil berhenti, Sjahrir ke luar dari mobilnya. Seorang perusuh mengacungkan pistolnya siap menembak. Tapi keajaiban terjadi. Pistolnya macet! Tapi ia kemudian memukul  wajah Sjahrir dengan pistol. Kebetulan lewat sebuah kendaraan patroli polisi militer Inggris di tempat kejadian. Sjahrir selamat.

Dua hari kemudian  ada percobaan pembunuhan terhadap Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifuddin. Ketika ia sedang di depan Sekolah Tinggi Guru dalam perjalanan ke rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, terjadi penembakan. Peluru nyaris melukai Menteri dan merusak mobil.

Pada 1 Januari 1946 Presiden Soekarno mengadakan rapat terbatas karena kemungkinan besar ibukota Jakarta akan jatuh ke tangan NICA. Ia mengusulkan agar petinggi negara diboyong ke daerah lain dan mengendalikan negara dari daerah itu. Rapat malam itu memutuskan, semua pejabat negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta yang dirasa aman dari gangguan Belanda. Fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara. Sebelumnya Kepala Daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.

Hasil rapat sepakat bahwa para petinggi negara akan berangkat ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 malam. Presiden Soekarno berpesan agar para pejabat negara tidak membawa bekal apa pun. Bila perjalanan ini diketahui NICA semua pejabat negara pasti akan langsung dibunuh dalam sekali serangan. Perjalanan itu penuh risiko, tapi setiap perjuangan membutuhkan keberanian.

Sugandi dari unit Balai Jasa Manggarai mempersiapkan gerbong khusus pada 2 Januari 1946 untuk memberangkatkan Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri menuju Yogyakarta. Ada delapan gerbong yang disiapkan melalui jalur Cikini. Pada 3 Januari 1946 kereta berhenti di belakang  rumah Presiden Soekarno yang terletak di pinggir rel. Presiden dan Wakil Presiden bersama keluarga mereka sudah menunggu kereta di sana. Semua lampu di gerbong kereta dan di lokomotif yang akan membawa rombongan dimatikan. Tentara NICA menyangka kereta tersebut hanya kereta biasa yang lewat kemudian akan kembali ke stasiun.

Rombongan mengendap-endap masuk ke dalam kereta. Tak ada seorang pun yang boleh bicara. Juga tidak boleh ada yang menyalakan korek api karena akan menimbulkan cahaya.  Semua harus dilakukan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sedikit pun,  dalam keadaan gelap. Suasana sangat tegang pada saat itu. Seandainya perjalanan itu diketahui NICA, negara kita pasti akan jatuh ke tangan Belanda.  Presiden, Wapres, dan para Menteri berada di dalam satu kereta yang bisa dihabisi hanya dengan satu granat.

Inilah perjalanan bersejarah di mana ibukota RI pindah ke Yogyakarta. Keluarga Presiden dan Wakil Presiden tinggal di Gedung Agung, istana Kepresidenan di Yogyakarta, sampai 27 Desember 1949.

Sumber: Artikel Kereta Api Penyelamat Republik karya Dr. Rushdy Hoesein
Lokasi pemotretan: Gedung Agung, Istana Kepresidenan RI di Yogyakarta

Tidak ada komentar: