Selasa, 16 Juni 2020

Akutagawa

“Kalau seorang penulis dapat mewarisi sepuluh karya yang masih berharga dibaca tiga puluh tahun setelah ia meninggal, ia dapat disebut empu. Kalau hanya mewarisi lima karya seperti itu, ia tergolong penulis terkenal. Kalau hanya dapat mewarisi tiga karya seperti itu, ia masih patut disebut penulis,” kata Akutagawa yang bunuh diri pada 1927 ketika usianya 35 tahun dan mewarisi 150 karya fiksi.
Lebih dari 75 karya Akutagawa masih berharga dibaca setelah penulisnya meninggal lebih dari tiga puluh tahun. Begitulah menurut Prof. Beongcheon Yu dari Wayne State University dalam buku Akutagawa: An Introduction.
Di Indonesia, Akutagawa baru mulai dikenal hampir seperempat abad setelah ia bunuh diri, yaitu ketika film Rashomon yang disutradarai Kurosawa Akira diedarkan, setelah film itu memperoleh Grand Prix dalam Festival Film Internasional ke-12 di Venice pada 1951. Film itu dibuat berdasarkan dua buku karya Akutagawa: Yabu no Naka dan Rashomon.
Terinspirasi oleh keberhasilan film itu, penulis Harsja Bachtiar menerjemahkan karya Akutagawa berjudul Yabu no Naka menjadi Di Balik Semak dan dimuat di majalah Zenith. Beberapa tahun setelah itu, penulis Toto Sudarto Bachtiar menerjemahkan cerita Akutagawa yang lain yaitu Kesa dan Morito (Kesa to Morito) dimuat dalam majalah Siasat. Kemudian diikuti penulis Winarta Adisubrata yang menerjemahkan Layar Neraka dan Kappa. Penulis Hasan Amin kemudian juga menerjemahkan bebas beberapa buku karya Akutagawa dan menerbitkannya menjadi buku-buku tipis, yaitu Rashomon dan Aneka Kisah, Pesta Dansa, dan Cerpelai.
Akutagawa kurang dikenal oleh generasi muda masa kini yang tidak tertarik pada sastra Jepang. Tapi kata-katanya yang fenomenal masih diingat sampai sekarang: “Jangan takut pada senjata, kecuali pada para tentara yang tahu cara menggunakannya.”

Tidak ada komentar: