Rabu, 10 Juni 2020

Dialog Prof.DR.H.Kadirun Yahya dengan Presiden Ir.Soekarno tentang Allah


Ini adalah tulisan Bambang Iman Santoso yang beredar di media sosial Facebook:
Mungkin ini adalah pertemuan dan dialog sakral yang mencerahkan sekaligus mengagumkan, yang dialami oleh Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Msc – seorang angkatan 1945, ahli sufi, ahli fisika, dan Rektor Universitas Panca Budi, Medan – dengan Presiden Ir. Soekarno.
Ia bersama rombongan saat itu diterima di beranda Istana Merdeka pada sekitar Juli 1965 bersama dengan Prof. Ir. Brojonegoro, Prof. dr. Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda.
“Wah, pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh tiga Profesor,” kelakar Ir. Soekarno membuka dialog ketika menemui rombongan Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk.
“Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya,” pinta presiden Soekarno kepada Prof. Kadirun Yahya, terkesan khusus.
“Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen (saya dengar tentang engkau sudah sejak empat tahun lalu tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.
“Ya, tentang apa itu, Bapak Presiden?”
“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira sepuluh tahun, saya cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya.”

“Lantas soalnya apa, Bapak Presiden?”
“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya majukan pertanyaan yang sebenarnya” jawab Presiden Soekarno.
“Baik Presiden” kata Prof. Kadirun Yahya
“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan surga?” tanya Presiden. “Surga” jawab Prof.Kadirun Yahya.
Accoord (setuju),”balas Presiden terlihat lega.
Menyusul Presiden bertanya untuk soal berikutnya. “Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat surga?” tanyanya.
“Untuk Presiden, Jenderal, Profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan ber-abdi pada negara, nusa, dan bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk nirwana,” jawab Prof. Kadirun.
Accoord,” kata Bung Karno (panggilan akrab Presiden).
Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor)” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dan kelihatannya Bung Karno belum ingin segera bertanya untuk yang pokok masalah. “Saya cerita sedikit dulu” kata Bung Karno.

“Silakan, Bapak Presiden.”

“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Sayapun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Al-Quran dan Al-Hadits bagaimana caranya supaya dengan mudah hapus dosa saya dan dapat ampunan dan bisa mati tersenyum.”
“Lantas saya ketemu dengan satu Hadits yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rasulullah berkata; Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing dan kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata: "Hai para sahabatku. Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, hapus dosa wanita itu dunia dan akhirat. Ia ahli surga”.
“Nah Profesor, tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk sorga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan Tuhan dosanya dan ia ahli sorga. How do you explain it Professor?” tanya Bung Karno lanjut. Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas.
“Presiden, U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam sepuluh tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam dua menit saja saya coba memberikan jawabannya dan memuaskan”, katanya.
Keduanya adalah sarjana eksakta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia dan fisika.
Di atas kertas Prof. Kadirun mulai menuliskan penjelasannya.
"10/10 = 1"
“Ya” kata Presiden.
"10/100 = 1/10"
“Ya” kata Presiden.
"10/1000` = 1/100"
“Ya” kata Presiden.
"10/10.000 = 1/1000"
“Ya” kata Presiden.
"10 /∞ (tak terhingga) = 0"
“Ya” kata Presiden.
"1000.000 … / ∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"Dosa / ∞ = 0"
“Ya” kata Presiden.
"Nah.” lanjut Prof,
"1 x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden
"½ x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden.
"1 zarah x ∞ = ∞"
“Ya” kata Presiden.
“Ini artinya, sang wanita, walaupun hanya satu zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, mengaitkan, menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar. 
Mengikutsertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakannya, maka hasil dari gerakannya itu menghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga hancur berkeping-keping. Ditorpedo oleh PAHALA yang Maha Besar itu. Jasa satu zarah x ∞ = ∞ dan Dosa / ∞ = 0. Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya, Presiden)” jawab Profesor.
Bung Karno diam sejenak . “Geweldig (hebat)” katanya kemudian. Bung Karno terlihat semakin penasaran.
Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan. “Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan?” katanya.
Profesor Kadirun Yahya pun lanjut menjawabnya. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan.Lihat saja, walaupun satu milimeter jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tak mungkin ada kontak jika frekuensiNya tidak kita dapatkan," jelasnya.
“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan?” tanya Presiden kemudian.
“Melalui isi dada Rasulullah” jawab Prof.Kadirun Yahya.
“Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya: Al-Quran ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat akan dia” (Abi Syuraihil Khuza’ayya.r.a), lanjutnya.
Prof. Kadirun Yahya menyambung: “Begitu juga dalam QS.Al-Hijr :29 – Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian rohKu, rebahkanlah dirimu bersujud kepadaNya”.
“Nur Illahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada dalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah SWT,” kata Prof.Kadirun Yahya.
Prof. Kadirun Yahya melanjutkan, “Lihat saja sunnatullah, hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari. Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun ‘edelgassen’ seperti : Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum!"
Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya satu juta tahun, maka cahayanyapun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanyapun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat.”
“Namun cahaya matahari, bukanlah matahari – cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari sendiri (Huygens),” jelas Prof.Kadirun Yahya.
Prof menyimpulkan, “Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Illahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi.”
“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama?” tanya Presiden.
Prof. Kadirun Yahya menjawab: “Memperbanyak shalawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT. Tidak kukabulkan doa seseorang, tanpa shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang (HR. Abu Daud dan An-Nasay). Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih: “Tidak engkau mendapat frekuensiKu tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi RasulKu.”
Sontak Presiden berdiri. “You are wonderful." Sejurus kemudian dengan memegang kedua tangan Profesor Kadirun Yahya, Presiden pun bermohon : “Profesor, doakan saya supaya saya dapat mati dengan tersenyum."

Tidak ada komentar: