Rabu, 15 April 2020

Asmara Ratu Kidul dan Raja-raja Jawa



Ratu Kidul adalah seorang putri Raja Pajajaran. Nama aslinya Dewi Retno Suwido. Ia adalah dewi pelindung kerajaan Mataram dan istri gaib para raja. Dalam Babad Tanah Jawi Panembahan Senopati (1584 – 1613) dan Sultan Agung (1613 – 1646) dikisahkan berangkat dari Parangtritis menemui Sang Ratu di istana di bawah laut yang hanya dihuni roh halus. Mereka bersetubuh. Hubungan intim dan istimewa raja pendiri Mataram dan Sang Ratu membawa kerajaan ke puncak kejayaannya pada awal abad ke-17 pada pemerintahan Sultan Agung, cucu Senopati.

Ratu Kidul merupakan penjelmaan Dewi Uma dan Batari Durga. Sebagai Batari Durga, ia bisa menimbulkan bencana dan penghancuran besar-besaran. Sementara sebagai Dewi Uma, ia bisa membawa perlindungan dan kemakmuran. Untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari Sang Ratu dan memperkuat pertalian gaib keraton dan istana di bawah laut, setiap tahun diadakan upacara khusus di Parangtritis yang dinamakan labuhan (lepas ke laut).

Di Yogyakarta sesajen labuhan berupa kain parang rusak awisan-Dalem dan batik pola hijau-putih gadung mlati, dengan kemben hijau (kain cangkring, sumekan gadung) warna favorit Sang Ratu. Batik ini dipakai penari di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta dalam tarian suci Bedoyo Ketawang (Kesunanan) dan Bedoyo Semang (Kesultanan) untuk mengundang roh halus Ratu Kidul agar bersetubuh dengan Sang Raja.

Sesajen itu dilabuh ke laut kidul yang berombak tinggi dengan menggunakan rakit. Sewaktu arus bawah laut membawa sesajen itu ke laut lepas, sesajen yang lebih intim dari para raja, seperti gunting kuku dan rambut, dipendam di pasir hitam di pantai Parangtritis di atas garis air. Ketika upacara labuhan berlangsung di pantai selatan, utusan lain dari keraton bersilang dari Yogyakarta ke gunung Merapi di arah utara dan dari Surakarta ke gunung Lawu di arah timur untuk membawa sesajen ke dewa pelindung, yaitu Kyai Sapu Jagad di gunung Merapi dan Kyai Tunggul Wulung di gunung Lawu. Tujuannya agar keseimbangan kosmik bumi dan air bisa dipertahankan.

Di Surakarta tarian paling penting untuk menghormati dewi laut selatan adalah Bedoyo Ketawang, tarian klasik yang menampilkan sembilan penari, semua putri belia bangsawan atau keturunan raja. Koreografi tarian mengisahkan pertemuan Ratu Kidul dan Senopati. Sang Ratu diberi sesajen berupa pakaian dengan pola batik dan makanan khas kesukaannya. Bila tarian dilaksanakan dengan tepat yaitu penarinya bersih jasmani (tidak sedang menstruasi) dan hatinya tenang, Sang Ratu biasanya muncul dengan merasuki tubuh salah seorang penari. Sang penari yang kerasukan dibawa ke Proboyekso (kediaman pribadi raja) di mana putri belia itu disetubuhi oleh Susuhunan dalam suatu ritual yang mengingatkan rayuan asmara antara Senopati dan Ratu Kidul.

Raja bisa melihat siapa penari putri yang harus diambil, sebab ada semacam cahaya kehijau-hijauan yang menyala redup dari vaginanya, sesuatu yang mengingatkan kita pada simbol ‘gua garba yang bercahaya’ seorang Ken Dedes atau Putri Pajajaran.



Sumber: Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX karya Peter Carey dan Vincent Houben


Tidak ada komentar: