Minggu, 19 April 2020

Kebohongan tentang Penganiayaan terhadap Pahlawan Revolusi

Pada 4 Oktober 1965, sebagai panglima Komando Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah tertulis kepada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat untuk melakukan visum et repertum. Perintah itu dilaksanakan oleh sebuah tim kedokteran forensik terhadap enam jenderal dan satu perwira menengah yang diserang dan dibunuh oleh pasukan Gerakan Tigapuluh September. Hasil visum selesai keesokan harinya. Pada 6 Oktober 1965 Mayor Jenderal Soeharto menerima hasil visum yang menyatakan tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata dicongkel. Setelah visum diterima, Soeharto tidak mengeluarkan pernyataan apa pun.

Media yang berada di bawah kontrol Angkatan Darat, seperti harian Berita Yudha dan harian Angkatan Bersenjata, terus menerus menyiarkan berita bahwa para korban – yang kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi – telah disiksa dengan keji. Padahal tak ada bukti pada jenazah bahwa mereka dicederai.
Di berbagai daerah di seluruh negeri, kemarahan yang disulut berita itu memicu meluasnya pembunuhan terhadap mereka yang dituduh terlibat G30S, tanpa bukti. Terutama pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dan berbagai organisasi yang sejalan secita-cita dengannya.
Dua puluh tahun kemudian muncul film yang diwajibkan ditonton anak-anak sekolah, Pengkhianatan G30S/PKI.

Sumber: buku Memoar Martin Aleida, Romantisme Tahun Kekerasan.

Tidak ada komentar: